POSITIVISME HUKUM VS CRITICAL LEGAL STUDIES (DARI JEAN BODIN, HANS KELSEN, KARL MARX HINGGA JACQUES DERRIDA)

Akar pemikiran CLS dikembangkan dari tradisi kritis yang dilakukan oleh para neomarxis dengan mengadopsi pendekatan anti-positivis dari Frankfurt School. Jadi, membahas lebih lanjut tentang teori hukum CLS ini, maka menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan juga untuk menjelaskan terlebih dahulu mengenai positivisme hukum hingga mencapai titik kritiknya pada CLS.

Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada awal abad XIX dengan didasari beberapa prinsip sebagai berikut: 1) Hanya apa yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar. Prinsip ini diambil alih dari filsafat empirisme Locke dan Hume; 2) Hanya apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti bahwa tidak semua pengalaman dapat disebut benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati kenyataan; 3) Hanya melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang dialami merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan; dan 4) Oleh karena semua kebenaran didapati melalui ilmu-ilmu pengetahuan, maka tugas filsafat tidak lain daripada mengumpulkan dan mengatur hasil penyelidikan ilmu-ilmu pengetahuan.

Maksud dari penganut positivisme klasik ini ialah mencapai suatu pengertian yang menyeluruh tentang dunia dan hidup dengan menggunakan metoda ilmu pengetahuan. Untuk itu metoda ilmiah perlu diterapkan pula pada kehidupan manusia dan hidup bersama manusia. Hal ini dilakukan oleh Saint-Simon dan Auguste Comte di Perancis, dan H. Spencer di Inggris. Karena penerapan itu, sistem filsafat mereka sewajarnya disebut Positivisme Sosiologis.

Positivisme bukan hanya muncul dalam bidang masyarakat, melainkan juga dalam bidang hukum sendiri. Aliran ini diberi nama Positivisme Yuridis atau Positivisme Hukum. Dalam positivisme sosiologis, hukum diselidiki sebagai suatu gejala sosial, sedangkan dalam positivisme yudiris hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri. Positif disini jangan diartikan sebagai lawan negatif. Positif maksudnya “poenere” yang artinya ditetapkan. Istilah “positive” dipakai untuk memberikan maksud bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas dan nyata. Penggunaan istilah ini juga bermaksud untuk membedakannya dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak dan tidak nyata.

Positivisme yuridis ini memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral atau antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen). Hukum tiada lain adalah perintah penguasa atau inti aliran positivisme yuridis ini menyatakan bahwa norma hukum adalah sah apabila ditetapkan oleh lembaga atau otoritas yang berwenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, bukan digantungkan pada nilai moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain adalah undang-undang. Undang-undang adalah sumber hukum, diluar undang-undang bukan hukum. Positivisme yuridis juga mengakui adanya norma hukum yang bertentangan dengan nilai moral, tetapi hal ini mengurangi keabsahan norma hukum tersebut. Kesimpulan yang pertama dari pendekatan positivisme yuridis ini ialah bahwa satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tatahukum, sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan kenyataannya. Positivisme yuridis inilah yang selanjutnya disebut sebagai Positivisme dengan menentukan kenyataan-kenyataan dasar yang berikut: 1) Tatahukum Negara tidak dianggap berlaku karena hukum itu mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spencer), bukan juga karena hukum itu bersumber dalam jiwa bangsa (menurut von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan cermin dari suatu hukum alam. Dalam pandangan positivisme yuridis, hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang; 2) Dalam mempelajari hukum, hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang. Dengan kata lain: hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum materil; 3) Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap variable dan bersifat sewenang-wenang. Isi hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu Negara, maka harus dipelajari dalam suatu ilmu pengetahuan lain, bukan ilmu pengetahuan hukum. Positivisme yuridis telah dipelopori oleh aliran hukum Humanisme, antara lain oleh Jean Bodin dengan ide-idenya tentang kedaulatan raja. Menurut ajaran ini, satu-satunya sumber hukum adalah pembentukannya oleh Negara. Memang sarjana-sarjana zaman itu sekaligus mempertahankan suatu ide tentang hukum alam, tetapi menurut mereka hukum positif dianggap tetap berlaku, juga bila bertentangan dengan hukum alam asal saja berguna demi kepentingan Negara. Sesudah ide hukum alam mati suri, maka tinggallah positivisme yuridis saja. Salah satu tokoh penganut positivisme yuridis adalah Jhon Austin (1790-1859), yang merintis paham ini di Inggris dan menamakannya: Analytical Jurisprudence.
Kaum positivisme yuridis ini sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma hukum diluar hukum positif, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Namun demikian, sumbangsih aliran positivisme yuridis atau disebut juga positivisme hukum ini untuk hakikat hukum terletak pada aliran hukum positif analitis (Analytical Legal Positivism atau Analytical Jurisprudence) dan teori murni tentang hukum dari Hans Kelsen (Kelsen’s Pure Theory of Law). Aliran Analytical Legal Positivism atau Analytical Jurisprudence ini dipelopori oleh Jhon Austin yang menyatakan satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu Negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan tidak adil. Menurut Jhon Austin, hukum adalah perintah (command). Perintah itu haruslah berasal dari pihak yang memang mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk mengeluarkan perintah tersebut yang disebut dengan kedaulatan (sovereign). Pemberi perintah (commander) atau pembentuk hukum tersebut dapat digolongkan sebagai orang maupun suatu badan atau institusi dengan kedaulatan yang dimilikinya dari suatu masyarakat politik yang bebas. Sementara yang dimaksud kedaulatan (sovereign) adalah dalam konteks kebiasaan mematuhi masyarakat terhadap suatu perintah dari yang berdaulat. Kemudian, perintah (command) dari penguasa yang mempunyai kedaulatan (sovereign) harus disertai dengan sanksi (sanction) atau kepatuhan yang dipaksakan (the evil) apabila perintah itu tidak dipatuhi. Akhirnya menurut Jhon Austin, hukum itu harus dipisahkan secara tegas dari moral atau tidak didasarkan atas cita yang baik dan buruk melainkan atas kekuasaan dari penguasa yang lebih tinggi, sebagaimana dalam pernyataannya bahwa: “as contradistinguished to natural law, or the law of nature, the aggregate of the rules, established by political superior, is frequently styled positive law, or law existing by position”. Aliran hukum positif analitis memandang bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang memiliki empat unsur, yaitu: 1) perintah (command), 2) sanksi (sanction), 3) kewajiban (duty), dan 4) kedaulatan (souverignity). Pemikiran Jhon Austin ini kemudian mendapat kritikan dari H.L.A. Hart. Menurut Hart, pandangan Austin tentang kewajiban hukum (legal obligation) untuk mematuhi perintah yang pada dasarnya adalah suatu paksaan adalah salah, karena hal itu berarti membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan antara seseorang yang berdaulat untuk mengatur suatu perilaku atau hukum bagi pengikutnya dengan seseorang yang menodongkan senjatanya dan memberi perintah kepada orang yang ditodongnya untuk menyerahkan uangnya. Dalam kedua kasus tersebut, orang-orang yang diperintah dapat dikarakteristik sebagai terperintah untuk mematuhi perintah yang ada, tetapi tidak sebagai seorang yang terikat untuk mematuhinya. Sehingga menurut Hart, aturan-aturan hukum seharusnya merupakan suatu “keharusan” yang diterima oleh masyarakat sebagai sebuah standar dalam membenarkan suatu hukum dan pelanggaran-pelanggaran aturan hukum tersebut. Sedangkan Teori Hukum Murni ini dikembangkan oleh Hans Kelsen. Teori ini bermula dari Kelsen yang mengetahui kesulitan yang dialami oleh Rudolf Stammler dan Del Vecchio. Kedua orang ini juga mau menciptakan teori murni, namun mengalami kesulitan karena masih menggunakan gagasan tentang keadilan untuk dimasukkan ke dalam hukum. Menurut Kelsen, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda sehingga keadilan itu harus dipisahkan dari hukum, tidak mungkin kalau memakai keadilan, karena keadilan itu bukan urusan hukum tapi urusan politik. Prinsip-prinsip keadilan tidak mendapat tanggapan dalam teori hukum murni karena diterimanya pemisahan yang tajam antara materi dan bentuk. Menurut Kelsen, arti hukum terletak dalam bentuk hukum, sedangkan keadilan ada hubungan dengan isi hukum. Keadilan berada diluar pengertian hukum sebagai hukum. Ia disebut teori hukum “murni” lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan hukum. Jadi kemurnian pemikiran Hans Kelsen tentang hukum tersebut dapat dilihat secara nyata dari dua hal, yakni pemisahannya antara hukum sebagai suatu subyek dengan bidang-bidang lainnya yang non-hukum, dan cara penyelidikan yang dilakukannya terhadap hukum dengan memisahkannya dari bidang-bidang lainnya tersebut. Menurut Kelsen, bahwa teori hukumnya yang murni, sedangkan hukumnya tidak murni. Kelsen memandang hukum dapat dibagi dalam arti formal dan materiil. Apa yang dicari Kelsen ialah pertama-tama hukum dalam arti yang formal, sebab ia ingin mencapai suatu pengertian transendental dan murni tentang hukum. Hukum disamakan dengan kenyataan hukum, yakni dengan semua kaidah yang pada kenyataannya mengatur hidup bersama dalam masyarakat, Hukum ini menjadi obyek ilmu pengetahuan hukum. Disamping ilmu pengetahuan hukum tersebut, terdapat juga politik hukum. Politik hukum itu ada hubungan dengan isi hukum yang berlaku, maka disini hukum ditanggapi dari segi materiil. Segi materiil tidak boleh menjadi obyek penyelidikan dalam ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab disini suatu penilaian hukum diperlukan. Penilaian ini tidak terdapat dalam ilmu pengetahuan hukum, yang menerima hukum sebagai hukum saja. Politik hukum adalah suatu kebijaksanaan untuk menentukan kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan ideologi dari yang berkuasa. Menurut Kelsen, isi hukum selalu bergantung dari kehendak politik orang-orang berkuasa. Politik ini dirumuskan dalam apa yang disebut ideologi Negara. Dalam politik hukum timbul juga soal tentang adil dan tidak adil. Keadilan dapat dipandang sebagai tujuan hukum. Namun tujuan hukum itu tidak ada hubungan dengan hukum dalam arti yang formal. Adil atau tidak adil, tindakan hukum selalu berlaku selama segi formalnya ada. Sebuah aturan, maka tidak pernah terjamin keadilannya, semuanya tergantung dari kemauan orang yang berkuasa. Pada akhirnya, W. Friedman menyatakan bahwa dasar-dasar terpenting dari Teori Hukum Murni Hans Kelsen, adalah: 1) Teori hukum adalah menyederhanakan kekacauan dan hal bermacam-macam hal ke suatu kesatuan; 2) Teori hukum adalah suatu ilmu pengetahuan, bukan kehendak. Teori hukum adalah pengetahuan tentang apa saja yang diartikan dengan hukum, tidak mengenai bagaimana hukum seharusnya; 3) Teori hukum adalah suatu ilmu normatif, bukan suatu ilmu kealaman; 4) Teori hukum sebagai teori norma-norma tidak menaruh perhatian pada akibat norma-norma hukum; 5) Teori hukum adalah formal, suatu teori mengenai cara mengatur isi yang berubah-ubang dengan cara yang khusus; dan 6) Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif khususnya adalah hubungan antara hukum yang mungkin dan hukum yang positif. Berdasarkan Teori Hukum Murni tersebut, Kelsen kemudian mengembangkan pendapatnya tentang tata hukum dengan istilah yang ia sebut sebagai Teori Stufenbau der Rechtsordnung yang juga disebut sebagai the Hierarchy of the Norms. Teori ini menyebutkan hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga, sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma yang lain itu. Karena, norma hukum yang satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma hukum yang disebut pertama. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “super-ordinasi” dan “sub-ordinasi” yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi (superior), sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah (inferior). Tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu, yakni norma yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar yang tertinggi yang, [sich!] karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum ini. Norma dasar itu yang disebut Kelsen sebagai Grundnorm. Norma dasar itu dapat dirumuskan dalam bentuk suatu kaidah hukum yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam bidang hukum. Kaidah itu berbunyi sebagai berikut: orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang ditentukan (Man soll sich so verhakten wie die Verfassung vorschreibt). Kelsen tidak menentukan Grundnorm itu sebagai suatu norma dari hukum alam. Norma dasar itu hadir secara apriori dan relatif permanen. Jadi, dengan menggunakan konsep Stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eselon), Kelsen mengkonstruksi pemikiran tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi ini, ditentukan jenjang-jenjang perundang-undangan. Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur piramidal (mulai dari yang abstrak yakni Grundnorm sampai yang konkret seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya. [sich!] Oleh sebab itu, menurut Kelsen, cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui logika Stufenbau itu, dan Grundnorm menjadi batu uji utama. Kelsen ini muncul untuk menerima deskripsi Weberian mengenai otoritas hukum dan analisis struktur formalnya. Kelsen membuat asumsi tertentu tentang sifat sistem hukum untuk membangun Teori Murni-nya, khususnya ia menganggap bahwa sistem hukum itu bersifat otonom, benar-benar mandiri dan logis serta sistematis yang saling berhubungan. Sistem hukum yang hirarkis dalam struktur (Stufenbau). Sebagian besar tulisannya pada Teori Murni berkaitan dengan rincian hubungan norma dalam sistem, kemungkinan konflik atau kontradiksi antara norma-norma, dan sifat interpretasi serta peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, Kelsen sendiri tidak meniadakan nilai sosiologi hukum. Sosiologi hukum berdiri berdampingan dengan hukum normatif dan tidak bisa menggantikan yang lain, tetapi keduanya saling terkait, karena sosiologi hukum mengandaikan konsep normatif hukum. Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen kemudian mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine Rechtslehre” mengemukakan bahwa sesuai teori Hans Kelsen, maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Menurut Hans Nawiasky, selain berjenjang-jenang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu: 1. Kelompok I: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) 2. Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara) 3. Kelompok III: Formel Gesetz (Undang-Undang ‘formal’) 4. Kelompok IV: Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan Otonom). Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun adanya jumlah norma hukum yang berbeda tiap kelompoknya. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) merupakan norma hukum yang tertinggi dan kelompok pertama dalam hirarki norma hukum negara. Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar. Hans Nawiasky menyebutkan Norma Dasar Negara itu tidak dengan sebutan Staatsgrundnorm melainkan dengan istilah Staatsfundamentalnorm. Hans Nawiasky berpendapat bahwa istilah Staatsgrundnorm tidak tepat apabila dipakai dalam menyebut Norma Dasar Negara, oleh karena pengertian Grundnorm itu mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah, atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara Norma Dasar Negara itu dapat berubah-berubah sewaktu-waktu karena adanya suatu pemberontakan, kudeta, Putsch, Anschluss dan sebagainya. Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz) merupakan kelompok norma hukum dibawah Norma Fundamental Negara. Bersifat pokok dan merupakan aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal. Menurut Hans Nawiasky, aturan ini dapat dituangkan di dalam suatu dokumen negara yang disebut Staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar-sebar yang disebut dengan istilah Staatgrundsgesetz. Biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, dan selain itu mengatur juga hubungan antara lembaga-lembaga negara, serta mengatur hubungan antara negara negara dengan warganegaranya. Kelompok norma-norma hukum yang berada di bawah Aturan Dasar Negara (Staatsgrundgesetz) adalah formell Gesetz atau secara harfiah diterjemahkan dengan Undang-Undang (‘formal’). Kelompok norma hukum ini sudah lebih konkret dan terinci, serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma hukum dalam undang-undang ini tidak saja bersifat tunggal, tetapi dapat bersifat berpasangan, sehingga terdapat norma hukum sekunder disamping norma hukum primernya, dengan demikian dalam suatu undang-undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Undang-undang (wet/Gesetz/act) ini berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, karena selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif. Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome Satzung) yang posisinya terletak di bawah undang-undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan atribusi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (atributie van wetgevingsbevoegdheid) ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet (undang-undang) kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai batas-batas yang diberikan. Delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (delegatie van wetgevingsbevoegheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undang yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tindakan. Kewenangan ini tidak diberikan, melainkan “diwakilkan”, dan selain itu kewenangan delegasi ini bersifat sementara dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. Di Indonesia, hirarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU a quo dinyatakan jenis dan hirarki peraturan terdiri atas: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Daerah Provinsi; dan 6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dimana kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut berlaku sesuai dengan hirarki. Berikut digambarkan dalam bentuk tabel perbandingan antar hirarki hukum menurut Hans Kelsen, Hans Nawiasky dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Gambar 1: Perbandingan Hirarki Norma Hukum PERBANDINGAN HIRARKI NORMA HUKUM

HANS KELSEN HANS NAWIASKY UU NOMOR 12 TAHUN 201

Perkembangan aliran positivisme hukum ini telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan bahwa tidak ada hukum di luar perundang-undangan, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikan. Pemikiran hukum legisme ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai Negara, sebelum timbulnya positivisme hukum. Akan tetapi, legisme hukum tidak sama dengan positivisme hukum. Kalau para ahli legisme hukum hanya menganggap undang-undang sebagai sumber hukum, maka para ahli positivisme hukum tidak membatasi pada undang-undang saja sebagai sumber hukum, tetapi juga kebiasaan, adat istiadat yang baik dan pendapat masyarakat. Para ahli positivisme hukum memang berpendapat bahwa karya ilmiah para ahli hukum hanya mengenai hukum positif, tetapi boleh berorientasi pada hukum kodrat atau hukum yang lebih tinggi seperti dilakukan penganut hukum alam. Akan tetapi, pemisahan moral dan hukum dalam positivism ini kemudian dikritik oleh L.L. Fuller yang menyatakan suatu sistem hukum bertujuan untuk mengarahkan perilaku manusia dan mengontrol aturan umum; yang terikat untuk memenuhi standar prosedur tertentu. Fuller menjelaskan bahwa selain moralitas eksternal, terdapat juga moralitas internal yang berfungsi sebagai pembentuk hukum yang baik, yaitu hukum harus: 1) bersifat umum; 2) diundangkan; 3) tidak boleh berlaku surut; 4) jelas; 5) tidak saling bertentangan; 6) dapat diuji; 7) tidak cepat diubah; dan 8) sesuai antara aturan dan implementasinya. Moralitas internal sesungguhnya merupakan aspirasi moral. Jika suatu sistem tidak dapat memenuhi kedelapan persyaratan sebagaimana yang dimaksud Fuller tersebut, maka hukum tersebut dianggap tidak berlaku dalam kehidupan masyarakat. Hukum haruslah menyiratkan nilai-nilai moral agar dapat diterapkan dengan adil. Pemikiran Fuller ini merupakan suatu jawaban atau kritikan atas pemikiran Hart. Fuller dianggap sebagai ahli hukum yang mewakili pandangan tentang pentingnya moralitas dalam hukum. Moralitas ini harus dihormati jika pembentuk peraturan hendak membuat aturan hukum, bahkan jika aturan hukum tersebut sangat buruk sekalipun. Ada dua pengertian moralitas yang meliputi hukum, yakni moralitas eksternal dan internal. Moralitas eksternal mengandung arti bahwa otoritas pembentuk peraturan harus didukung dengan perilaku moral yang mengacu pada kompetensi yang dibutuhkan, sedangkan moralitas internal adalah moral yang ada dalam hukum itu sendiri. Perbedaan pendapat atau kritik Fuller terhadap Hart dan pemikir Positvisme hukum lainnya tergambarkan dalam memandang tatahukum Nazi Jerman yang dianggap sangat kejam dan pernah berlaku pada era 1930-an hingga berakhirnya Perang Dunia Kedua. Menurut Hart, tatahukum Nazi Jerman walaupun terkesan menindas dan tidak bermoral, namun sejalan dengan aturan tentang pengakuan, tetaplah berlaku dan harus dipertimbangkan sebagai hukum. Sedangkan disisi lain, Fuller membantah pendapat tersebut dengan menyatakan tatahukum Nazi Jerman bukanlah hukum karena bertentangan dengan delapan prinsip moralitas internal sehingga tidak ada jaminan keadilan dalam hukum tersebut. Pembahasan tentang moralitas mengandung arti perlu mencari arti dan memahami apa itu sebenarnya moralitas. Moralitas berasal dari bahasa Latin, yaitu mos (jamaknya mores), yang artinya kebiasaan. Sedangkan kebiasaan juga menjadi pengertian dari etika, yang berasal dari bahasa Yunani, ethos. Dengan mengikuti penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, K. Bertens menyatakan, etika dapat dibedakan dalam tiga arti. Pertama, etika dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang yang baik dan buruk. Pengertian etika yang ketiga ini yang sama artinya dengan etika sebagai cabang filsafat. Jika moralitas diartikan sebagai sesuatu yang menyangkut mengenai baik-buruknya manusia sebagai manusia, maka moralitas adalah keseluruhan norma, nilai dan sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat. Jadi moralitas adalah kompleksitas moral dalam kehidupan manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.
Persoalannya sekarang, “Apa ukurannya sehingga kita dapat mengatakan bahwa seseorang itu baik sebagai manusia?” Setiap manusia atau masyarakat memiliki nilai-nilainya tersendiri, yang secara keseluruhan dapat dikatakan berwujud sebagai suatu sistem nilai. Sistem nilai yang dianut seseorang atau suatu masyarakat akan menuntut orang atau masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku. Dalam hal ini, nilai tersebut tidak berhenti sebagai “kualitas” semata, tetapi sudah mengalami konkretisasi menjadi norma atau kaidah. Jadi moral tidak hanya berwujud menjadi nilai, tetapi juga merupakan norma. Norma moral inilah yang menjadi ukuran untuk menilai (mengevaluasi) baik-buruknya seseorang (termasuk masyarakat) sebagai manusia. Menilai berarti menimbang-nimbang dan membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk mengambil sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan yang dibuat dan diyakini kebenarannya itulah yang disebut nilai. Karena ada unsur pertimbangan dan perbandingan, berarti sesungguhnya obyek yang diberi penilaian tersebut tidak tunggal. Obyek disini dapat berupa suatu hal yang bersifat jasmaniah atau rohaniah, misalnya benda, sikap atau tindakan tertentu. Dalam menilai, subyek berhadapan dengan obyek. Sehingga pada hakikatnya subyeklah yang menentukan keputusan tentang nilai, misalnya apakah nilai itu positif atau negatif. Dalam memberikan penilaian itu, subyek dapat menggunakan segala kelengkapan analisis yang ada padanya: 1) indera yang dimilikinya (menghasilkan nilai nikmat atau sebaliknya, nilai kesengsaraan); 2) rasio (menghasilkan nilai benar dan salah)l 3) rasa etis (menghasilkan nilai baik-buruk atau adil-tidak adil); 4) rasa estetis (menghasilkan nilai indah dan tidak indah; dan 5) iman (menghasilkan nilai suci-tidak suci dan haram-halal). Menurut penilaian A. Hamid S. Attamimi, norma atau kaidah berisi kehendak yang mengatur perilaku seseorang, sekelompok orang, atau orang banyak dalam hubungannya dengan orang lain, dengan mahluk lain, dan dengan benda disekelilingnya. Norma-norma tersebut pada akhirnya ada yang berubah atau menjelma ke dalam peraturan-peraturan konkrit bagi suatu masyarakat tertentu (hukum positif). Inilah yang disebut normativitas di dalam hukum. Norma-norma yang telah menjadi bagian dari hukum positif inilah yang kemudian menjadi objek kajian dari ilmu hukum dogmatik untuk dipaparkan, dianalisis, disistematisasi, diinterpretasi dan dinilai dalam upaya menemukan upaya penyelesaian yuridik terhadap masalah hukum (makro maupun mikro) yang mungkin terjadi di dalam masyarakat. Ketika Normatif (hasil kegiatan normativitas) diartikan sebagai sebuah konsep filsafat tentang nilai. Ia menunjukkan pada keutamaan nilai (summum bonum) tertentu. Karenanya, jika harus digunakan sebagai terminologi hukum, maka kata normatif harus menunjuk pada hakikat hukum sebagai kaidah (nilai-nilai), bukan sekedar aturan formal. Dengan kata lain, normatif tidaknya suatu aturan, bukan terutama ditentukan oleh sah tidaknya aturan tersebut. Suatu aturan dikatakan bersifat normatif, jika dalam dirinya terdapat summon bonum yang secara akal sehat diterima sebagai sesuatu yang mulia-baik-benar-patut, dan oleh karena itu, setiap manusia yang waras merasa memiliki kewajiban untuk menghormatinya. Aturan dari seorang tiran Hitler yang mengijinkan pembasmian ras Yahudi, misalnya tidak memiliki nilai normatif apapun, meskipun ia sah dan legal secara yuridis. Meski perintah Hitler merupakan kewenangan tertinggi bagi Nazi Jerman, dan cita-cita Hilter menyerupai Grundnorm ala Kelsen, namun ia tidak memiliki sifat normatif. Penolakan ini bukan lantaran Hitler orang yang kejam dan membenci orang Yahudi, tapi semata-mata karena aturan yang demikian tidak memiliki summon bonum yang dapat diterima akal sehat orang waras. Ia tidak memiliki muatan normatif, karena menciderai the sanctity of human life-yang justru menjadi kaidah pokok dalam hukum. “The traitor to humanity is the traitor most accursed. Man is more than Constitutions,” demikian JR Lowell dalam salah satu sajaknya. Hukum harus mengabdi pada kemanusiaan dan kemaslahatan manusia, bukan sebaliknya. Pada saat pembicaraan moralitas inilah kemudian dirasakan bahwa positivisme hukum bermasalah, baru disadari sepenuhnya pada waktu kelemahanmya dimanfaatkan oleh rezim-rezim fasis. Kelemahan dasar positivisme hukum adalah mengindentifikasikan hukum dengan undang-undang (hukum positif). Cara pandang yang formalistik ini menghilangkan kemungkinan untuk mempertanyakan apakah norma yang diundangkan itu adil atau tidak. Betapapun buruknya, asal norma sudah menjadi hukum positif, hakim dan masyarakat terikat kepadanya. Mazhab filsafat yang pertama kali melakukan kritik terhadap mazhab positivisme hukum ini adalah mazhab sejarah hukum yang dirintis oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861), ahli hukum berkebangsaan Jerman. Pemikiran Savigny ini kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama Puchta. Kemudian berkembang pengaruhnya sampai ke Inggris dengan tokohnya Henry Maine. Kelompok mazhab sejarah ini menyerang mazhab positivisme hukum dengan mengatakan bahwa hukum bukan hanya yang dikeluarkan oleh penguasa dalam bentuk undang-undang namun hukum adalah jiwa bangsa (volkgeist) dan substansinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Tidak hanya penguasa, rakyat yang terdiri dari kompleksitas individu dan kelompok juga mempunya kekuatan melahirkan hukum (sebagaimana ungkapan Cicero: Ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat, disitu ada hukum). Hukum, menurut mazhab hukum sejarah, bukan diciptakan melainkan ditemukan.
Selain itu, ada beberapa tokoh yang dianggap bisa mewakilkan pandangan beberapa mazhab filsafat hukum dan para ahli hukum yang tidak menyetujui Positivisme Hukum, yang dalam hal ini dicontohkan dua tokoh saja, yakni Karl Marx (mazhab Sociology of Law) dan Roberto M. Unger dengan Critical Legal Studies-nya (Mazhab Sociological Jurisprudence) Pengaruh pemikiran Karl Marx (5 Mei 1818-14 Maret 1883) tidak bisa diragukan lagi dalam sejarah perjalanan dunia ini. Marx tidak hanya merangsang perubahan cara berpikir, tetapi juga mengubah cara manusia bertindak. Seperti yang dikatakan Marx sendiri “Para filosof hanya menginterpretasikan dunia dalam berbagai cara; masalahnya adalah bagaimana mengubah dunia”. Hal inilah yang kemudian membedakan Marx dari filosof lain, misalnya Auguste Comte atau Martin Heidegger, bahkan David Hume, yang hanya sanggup mengubah cara manusia berpikir, meskipun tidak bisa dipungkiri juga bahwa perubahan pemikiran ini berdampak pada kehidupan masyarakat luas, namun efeknya tidak sebesarnya Karl Marx. Filsafat Marx lebih diletakkan untuk mengubah dunia, bahkan sebagai ideologi, “Marxisme” menyemangati sebagian besar gerakan buruh sejak akhir abad XIX dan dalam abad XX serta mendasari kebanyakan gerakan pembebasan sosial. Pemikiran “Marxisme” ini semakin mengemuka ketika Marx melihat keadaan masyarakat buruh, yakni masyarakat Inggris pada pertengahan abad XIX. Di Inggris, industrialisasi sudah maju dan mewarnai seluruh kehidupan masyarakat. Walaupun demikian, aturan masyarakat masih seperti seabad sebelumnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh John Locke. Menurut Locke, masyarakat adalah lapangan hidup dimana individu-individu dapat mewujudkan hak-hak dan kebebasan asli mereka. Negara tidak berpengaruh atas kegiatan-kegiatan individu-individu. Kekuasaan politik juga tidak berhak untuk campur tangan dalam kehidupan masyarakat, kecuali kalau terdapat bahaya yang sungguh-sungguh, bahwa suatu konsentrasi kekuatan ekonomis yang terlalu besar akan menghindarkan berjalannya kehidupan bebas individu-individu. Akibat pandangan ini, dalam masyarakat zaman itu kekuatan-kekuatan ekonomis berjalan menurut dinamikanya sendiri dan sama sekali tidak dikendalikan. Semangat zaman itu terungkap dalam semboyan Sekolah Manchester: laissez faire, laissez aller (biarlah berbuat, biarlah berjalan). Jalan berpikir ini untuk bidang sosial ekonomi disebut liberalisme. Adam Smith (1723-1790) dipandang sebagai pengasas sistem ekonomi tersebut.
Liberalisme bermuara dalam kapitalisme. Sesuai dengan semangat liberalisme, tiap-tiap orang mendapat kebebasan untuk mendirikan pabrik dan membeli mesin-mesin yang dibutuhkan. Dengan demikian, alat-alat produksi menjadi milik pribadi orang-orang tertentu. Inilah kapital. Kapital itu semakin bertambah oleh sebab tenaga para buruh digunakan untuk mendapat keuntungan bagi orang-orang yang sudah menanamkan modal sebelumnya. Tenaga kerja para buruh penting juga dalam proses produksi, namun mereka tidak maju, oleh karena para kapitalis berkuasa secara mutlak atas buruh. Mereka menentukan gaji dan dapat memecat buruh-buruh, kalau mereka menghendakinya. Dengan demikian orang-orang yang tidak memiliki apa-apa menjadi korban dari kesewenang-wenangan para pemilik. Dibawah rejim kapitalisme, pekerjaan seorang buruh tidak membawa untung bagi dirinya sendiri. Ia tetap miskin betapapun besar usahanya untuk maju. Menurut Marx, situasi yang kurang adil terhadap buruh ini terjadi dan bertahan berabad-abad lamanya karena dua ciptaan manusia, tatahukum dan Negara. Dalam masyarakat feodal sudah terdapat orang-orang kaya dan miskin. Mereka dapat hidup bersama berkat suat aturan bagi kehidupan masyarakat, yang memang disusun oleh yang berkuasa. Aturan masyarakat itu mencerminkan keadaan ekonomi masyarakat, yakni melindungi hak-hak istimewa dari yang berkuasa. Demikian juga dalam Negara yang didirikan, undang-undang atau hukum dibuat demi kepentingan orang-orang yang berkuasa. Dalam masyarakat kapitalisme, yang berkuasa adalah para pemilik kapital. Tatahukum yang ada itu melindungi para pemilik modal. Negara adalah produk dan manifestasi dari tak terdamaikannya antagonism-antagonisme kelas. Ada dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis dan proletar. Kelas borjuis adalah kelas bagi para kapitalis yang memiliki alat-alat produksi dan memperkerjakan buruh upahan, sedangkan kelas proletar adalah kaum buruh atau yang tidak memiliki kapital. Marx membagi pandangannya tentang Negara menjadi dua bagian, yaitu 1) negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa, dan 2) negara sebagai bentuk yang bebas dan tertinggi dari kelas sosial lainnya. Dasar argumentasi Marx terhadap pandangan pertamanya tentang Negara, sebagai alat kelas yang berkuasa, adalah Negara digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk mempertahankan kepentingan ekonominya. Untuk mempertahankan kepentingan ekonominya ini, maka Negara difungsikan sebagai organ penindas kelas yang dikuasai. Selain dua ciptaan manusia tersebut, yakni hukum dan Negara. Ada satu lagi ciptaan manusia lainnya yang secara tidak langsung mendukung para pemilik kapital, yakni Agama. Menurut Marx, agama digunakan sebagai hiburan bagi rakyat supaya rakyat tetap sabar dan menerima keadaannya. Agama merupakan obat bius bagi rakyat.
Pembahasan pandangan Marx mengenai moral dan keadilan tidak terlepas dari kritiknya terhadap sistem masyarakat ekonomi kapitalisme. Bahwa, hal terpenting di dalam masyarakat kapitalisme adalah mengenai cara masyarakat tersebut menjalankan hubungan produksinya atas kepemilikan pribadi alat produksi. Watak dan sifat dari masyarakat kapital adalah exploitative (menindas), ekspansi (meluaskan), dan akumulasi keuntungan. Cara masyarakat capital dalam menjalankan cara produksinya adalah dengan cara penindasan (eksploitatif), Hal ini didasari atas tuntutan capital terhadap keuntungan. Keuntungan ini diambil dari mengurangi hasil orang lain atau hasil dari tenaga dan keringat manusia. Tanpa melalui itu, tidak akan bisa terjadi kapital yang mendatangkan untung. Jadi, apa yang disebut sebagai keuntungan kapitalis adalah hasil kerja buruh yang dirampas oleh si kapitalis, hal ini disebut dengan “Nilai Lebih”. Kritik Marxis terhadap kapitalisme bukanlah kritik moral, tapi kritik ilmiah. Namun, tulisan-tulisan Marxis penuh dengan penilaian moral. Marx dan Engels meninggalkan kita ketidakraguan atas kebencian mereka terhadap sistem kapitalis dan dampaknya pada pekerja. Marx menyatakan, bahwa Komunisme menghilangkan kebenaran-kebenaran abadi, ia menghapuskan semua agama dan semua moral dan bukannya menyusun semuanya itu atas dasar yang baru, karenanya ia bertindak bertentangan dengan segala pengalaman sejarah yang lampau. Pandangan ini didasari atas argumentasinya, bahwa pikiran-pikiran yang menguasai setiap zaman adalah senantiasa pikiran kelas yang berkuasa. Oleh sebab itu, hukum dan moral yang ada di dalam masyarakat kapitalis adalah bentukan atas kepentingan kelas kapitalis. Penindasan dan penghisapan yang dilakukannya menimbulkan ketidak adilan bagi kelas yang dikuasai, sehingga diperlukan tindakan-tindakan moral untuk meminimalisir penindasan yang dilakukan walaupun tidak dihilangkan.
Pemikiran kritis Marx ini yang kemudian diadopsi para pemikir hukum yang menganut paham Critical Legal Studies yang pada tahun 1977 di Kota Madison, Negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat mengadakan konferensi bertema “Conference on Critical Legal Studies”. Konfrensi tersebut diselenggarakan dan dihadiri oleh para akademisi hukum yang terlibat dalam gerakan hak-hak sipil-diskriminasi ras, gender, kelas dan kampanye anti perang Vietnam. Mereka menganggap mazhab formalisme hukum tidak dapat menjawab berbagai bentuk diskriminasi yang ada di masyarakat Amerika dan juga Perang Vietnam. Konfrensi ini mencari alternatif baru, maka lahirlah gerakan Critical Legal Studies (CLS).
Tokoh dibalik gerakan hukum kritis ini adalah Roberto Mangabeira Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Mark Kelman, Mark Tushnet, Morton Horwitz, dan Jack Balkin. Para tokoh ini memiliki ideologi keilmuan yang beragam. Walau ideologi keilmuwan beragam, mereka disatukan oleh anggapan bahwa hukum tidak terpisah dari sosial, ekonomi dan politik, sebagaimana dalam deklarasinya: “…law is an instrument of social, economic dan political domination, both in the sense of furthering the concrete interest of dominators and in that of legitimating the existing order”.
Roberto M. Unger berpendapat bahwa hampir semua pemikiran hukum dan demokrasi pada umumnya dewasa ini terjebak dalam dua kemungkinan pandangan, yaitu menjadi legal formalism seperti masa-masa klasik dan pra klasik atau menjadi policy and principles oriented atau policy and principles based legal thoughts. Legal formalism lebih mendekati hukum secara ketat sebagai dokumen-dokumen formal yang kaku dengan mengandaikan bahwa dokumen-dokumen itu selalu mengandung dan mencerminkan nilai-nilai ideal yang harus dijadikan pegangan normatif dan terpercaya. Karena itu, penerapannya dalam kenyataan selalu mengandalkan kekuatan legal yang ada secara formal dalam kerangka aturan hukum yang tercermin dalam bunyi teksnya. Penafsiran terhadap dokumen-dokumen hukum dalam pandangan ini demikian kakunya cenderung mencerminkan pemahaman yang sangat sempit dan tergantung ruang dan waktu tertentu. Memang cukup banyak variasi dalam hal ini, tetapi semua mirip-mirip saja, yaitu cenderung legal formalistis. Sebaliknya pandangan policy and principles oriented lebih mementingkan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan yang terkandung dalam dokumen-dokumen tersebut. Dokumen hanyalah alat, yang penting isinya, ideologi dan prinsip-prinsip yang dikandungnya; dan yang terakhirnya biasa dipahami sebagai sesuatu yang dibayangkan berlaku secara universal. Karena itu, pandangan kedua ini cenderung memperlakukan hukum secara instrumentalis dalam rangka mencapai tertib masyarakat dan kehidupan secara luas. Oleh karena luasnya kampanye kedua pandangan cara berpikir tersebut, dapat dikatakan hampir seluruh dunia ilmiah terperosok jauh kedalam kedua aliran ini, sehingga cita-cita hukum selalu menghadapi kendala institusional dimana-mana. Menurut Unger, semua teori yang dikembangkan sekarang ini, termasuk “policy oriented legal theory”, tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial dan hukum yang berkembang dewasi ini. Semua teori yang berbasis formalisme ataupun berorientasi pada policy, terbukti mengalami kegagalan dan justru banyak menimbulkan problem-problem penerapan yang tak dapat dijelaskan dengan kacamata standard. Sebabnya adalah bahwa para ilmuwan terlalu terpaku pada faktor “policy and principles” dalam dasar argumen mereka tanpa mengkaitkan dengan persoalan-persoalan pelembagaan gagasan-gagasan yang dikembangkan kedalam situasi konkrit yang justru mengharuskan adanya pertimbangan mengenai pluralisme atau keragaman di setiap masyarakat, Setiap kali orang gagal melembagakan gagasan-gagasan teoritis mereka dalam konteks institusi, maka orang mudah berpaling pada sikap formalisme ataupun nihilisme dengan menafsirkan hukum dan konstitusi secara sempit ataupun dengan mengajukan pandangan bahwa hukum dan konstitusi tidak jelas dan menghajatkan perubahan. Perubahan cenderung ssecara implisitis diusulkan dengan cara mengadakan reinterpretasi tanpa kendali ataupun dengan cara mengadakan perubahan tekstual terhadap naskah hukum dan konstitusi yang ada. Olek karena itu, diusulkan Unger suatu reorientasi mendasar mengenai dasar-dasar pemikiran dan analisis hukum dengan apa yang disebutnya dengan “democratic experimentalism” dalam rangka melakukan “institutional transformation”. Jimly Asshiddiqie memiliki pandangan mengenai pemikiran Unger ini, pandangan ini penting bagi para ahli hukum untuk menelaah kembali secara kritis semua asumsi teoritis yang selama ini dikembangkan dengan mempertimbangkan gagasan-gagasan pelembagaan yang ditawarkan. Sangat boleh jadi, kesimpulan yang diperoleh berbeda dari kesimpulan Unger, tetapi keperluan mengembangkan institusional yang dianjurkan memang penting agar cita-cita dan pemikiran hukum yang dikembangkan tidak utopis ataupun memberikan arah yang keliru di kalangan para ahli, terutama di lingkungan Negara-negara sedang berkembang seperti yang banyak terjadi selama ini. Jimly juga mengatakan gagasan dan prinsip-prinsip ideal apapun yang ditawarkan dalam ilmu hukum, kerangka pelembagaan ke dalam situasi kongkrit haruslah sekaligus turut dipertimbangkan, agar teori-teori yang dibangun tidak hanya terpaku pada konsep-konsep ideal yang dipersangkakan akan dapat dipertimbangkan faktor keragaman dan kerumitan serta corak-corak khas budaya hukum masyarakat dimana hukum itu akan ditegakkan.
Dengan ajakan Unger agar pemikiran hukum di masa depan sekaligus mempertimbangkan mekanisme pelembagaan prinsip-prinsip yang dikembangkan, maka otomatis keragaman budaya akan menjadi isi dari institusi-institusi yang akan dikembangkan itu turut dipertimbangkan. Karena esensi dari setiap institusi yang hendak dikembangkan itu, selain mengandung gagasan pokoknya juga terdapat nilai-nilai, sikap, dan perilaku manusiawi yang sangat era kaitannya dengan kebudayaan setempat. Mekanisme memahami kembali gagasan pokok yang terkandung dan menafsirkan kembali sesuai dengan kebutuhan masa kini dan dan masa depan menjadi salah satu cara mentransformasikan pelembagaan dalam kerangka konstitusi. Critical Legal Studies tidak menyukai liberalisme dan individualism, memuji komunitas, mengkritik legal order, menentang hierarki sosial dan menyebut human relation sebagai perubahan fundamental. Karenanya, hal ini mengingatkan pada utopian sosialisme akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, serta romantisme revolusi pada awal abad ke-19 dalam sastra, agama, dan filsafat menentang nasionalisme abad ke-18. Liberalisme merupakan tradisi filsafat politik yang mendasari teori kontrak sosial dari Hobbes, Locke dan Hume, yang percaya: 1) masyarakat terdiri dari individu-individu bebas yang menerima nilai-nilai berdasarkan keinginan subyektif; 2) masyarakat memiliki nilai-nilai umum, dan 3) nilai-nilai ini dapat diakomodasikan melalui lembaga-lembaga sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Liberalisme menawarkan legitimasi pada kapitalisme dan menyembunyikan eksploitasi dengan pretense-pretensi demi kebebasan dan hak-hak individual (hak asasi manusia). Penyamaran ini mengecoh massa menjadi pendukung sistem yang menindas mereka. Alasan-alasan ini yang membuat CLS menolak liberalisme. Sumber intelektual Dekonstruksi CLS adalah teknik post-structuralist Jacques Derrida mengenai interpretasi teks, dimana teks tidak memiliki makna obyektif. Makna yang ditemukan dalam teks adalah hasil dari interpretasi pembaca, bukan hanya yang inheren pada teks. Metode Derrida akan mengungkapkan dalam teks poin-poin yang mana yang janggal dilihat dari tesisnya yang nyata dan konsekuensinya, mengungkap makna tetapi tidak sebaliknya. Dengan demikian, metoda ini mencabut makna yang dipahami oleh kebanyakan orang dan menunjukkan sifat terus menerus sukar dipahami dari esensi makna. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, critical legal studies juga menggunakan metode trashing dan genealogy. Metode Trashing dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan. Sedangkan Genealogy adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.

TERIMA KASIH-

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *