MARI KITA BERESKAN PERMASALAHAN KEGIATAN HULU MIGAS

Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (Migas) telah berpuluh tahun hingga kini masih merupakan salah satu tulang punggung dan menjadi salah satu sektor penyumbang besar dalam struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) kita. Menurut Kementerian ESDM, selama 10 tahun terakhir, industri ini rata-rata memberikan kontribusi penerimaan APBN sebesar 25% yang digunakan untuk membiayai bermacam kegiatan dan program pemerintah termasuk belanja pegawai, pembangunan infrastruktur kepentingan publik. Data Kementerian ESDM menunjukan sejak Januari hingga April 2014, diperkirakan sebesar Rp 86,56 Triliun telah diterima negara dari sektor migas dengan target penerimaan negara pada 2014 sebesar Rp 286,03 T. Target penerimaan migas tahun ini sedikit lebih tinggi dibandingkan target pada 2013 sebesar Rp 267,12 T. Namun, realisasi penerimaan migas pada 2013 bisa melebihi target yaitu Rp 305,57 T. Kendati target penerimaan dari sektor Migas pada 2014 meningkat dibandingkan 2013, tetapi target investasi di sektor tersebut justru menurun. Mengenai investasi Migas pemerintah menargetkan sebesar US$ 25,44 miliar sedangkan hingga April 2014 baru mencapai US$ 6,88 miliar. Jadi target investasi migas tahun ini lebih rendah dibandingkan tahun lalu yaitu sebesar US$ 27,20 miliar sedangkan realisasinya mencapai US$ 19,34 miliar.

Sedangkan disisi produksi terjadi penurunan yang disebabkan oleh penurunan produksi secara alamiah dari lapangan-lapangan minyak tua, sulitnya pengadaan tanah untuk lokasi sumur-sumur baru, sulitnya perijinan kegiatan eksplorasi, maraknya permasalahan sosial kemasyarakatan, dll. Sementara itu konsumsi dalam negeri meningkat terus, untuk itu perlu terus untuk diperhatikan berbagai langkah untuk menjamin kelangsungan produksi dan menghemat penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Saat ini, realisasi lifting minyak bumi selama periode Desember 2013-Maret 2014 baru mencapai sekitar 797 ribu barel per hari (BPH). Sasaran lifting minyak yang dalam APBN 2014 ditetapkan sebesar 870 ribu BPH diperkirakan hanya akan terealisasi sebesar 818 ribu BPH. Begitupun dengan lifting gas mengalami penurunan, selama periode Desember 2013 sampai dengan Maret 2014, realisasi lifting gas bumi mencapai 1.301 ribu barel per hari setara minyak per hari (BOEPD) dan lifting gas diperkirakan mencapai 1.224 ribu BOEPD lebih rendah dibandingkan dengan asumsi lifting gas bumi pada APBN tahun 2014 yang ditetapkan sebesar 1.240 ribu BOEPD. Sebagai gambaran terkini, pada Maret 2014, produksi minyak hanya mencapai 804 BPH dan terus menurun pada Juli 2014 telah menyentuh angka 796.500 BPH. Akibat Lifting migas yang rendah ini tidak bisa dipungkiri telah menyebabkan defisit pada anggaran negara, disisi lain dalam APBN-P tekanan nilai tukar rupiah diprediksi naik mencapai 10,2 persen. Tentunya akan semakin memperburuk struktur anggaran dan mengganggu keuangan negara karena importasi minyak masih yang masih cukup tinggi selama ini serta akan berdampak pada program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat berikut pelayanan publiknya.

Kondisi lifting yang seperti ini tentu sangat mengkuatirkan apalagi membaca outlook SKK Migas 2015 hingga 2050. Dimana produksi minyak diperkirakan paling tinggi hanya terjadi pada 2016 yang mencapai 905.000 BPH. Setelah itu jumlahnya terus turun. Pada 2018 hanya 764.000 BPH, 2019 hanya 710.000 BPH, pada 2025 hanya 453.000 BPH, dan 2050 menjadi 332.000 BPH. Kondisi ini akan terjadi dengan catatan, jika Indonesia tidak menemukan cadangan minyak baru atau lapangan minyak baru dan menyelesaikan hambatan dan tantangan yang terkait dengan kegiatan untuk menemukan cadangan minyak atau lapangan baru tersebut. Saat ini, terjadi penurunan produksi minyak secara alami mencapai 15-20% per tahun; dengan pembersihan sumur, perawatan sumur dan pengerjaan lainnya penurunan produksi minyak dapat ditekan hanya mencapai 5% per tahun. Tantangan dan hambatan produksi migas inilah yang menjadi pekerjaan rumah terbesar Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk periode 2014-2019, yakni Joko Widodo dan M Jusuf Kalla (catatan: berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 535/Kpts/KPU/Tahun 2014 tertanggal 22 Juli 2014, dimana saat ini pasangan Prabowo-Hatta sedang mengajukan permohonan PHPU di Mahkamah Konstitusi) untuk “membereskan” segala permasalahan produksi migas ini didukung para praktisi dan pemerhati Migas.

Menurut Penulis, ada 5 pokok permasalahan besar yang dihadapi industri hulu migas, yakni: 1. Permasalahan Korupsi dan Isu Mafia Migas, 2. Asing vs Nasional, 3. Tata Kelola Migas, 4. Permasalahan Operasional Lapangan Migas, dan 5. Kesejahteraan Masyarakat Lokal vs dana Bagi Hasil Daerah, dengan uraian sebagai berikut: Permasalahan Korupsi dan Isu Mafia Migas

Kedua persoalan ini memang sudah lama jadi pembicaraan panas di kalangan penegak hukum, praktisi dan pengamat Migas. Sehingga pada Debat Capres-Cawapres 5 Juli 2014, pasangan Jokowi-JK pun membicarakan persoalan ini dan berjanji menangani persoalan ini dengan serius. Komitmen ini kembali ditegaskan Jokowi pada 26 Juli 2014, 4 hari setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Di Solo, Jokowi mengatakan bahwa akan memprioritaskan pemberantasan mafia migas di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurutnya, praktek mafia migas di Kementerian ESDM sudah sangat kuat dan merugikan negara. Untuk membersihkan dari praktek mafia di sektor migas, Kementerian ESDM harus dipimpin seorang yang memiliki integritas, mampu bekerja dengan cepat dan membereskan persoalan karena selama ini praktek mafia migas bebas berkeliaran di Kementerian ESDM akibat lemahnya pengawasan.

Namun apakah sesungguhnya mafia itu? Inti dari mafia itu adalah kejahatan terorganisir yang umumnya bersifat rahasia. Di Indonesia, secara formal belum ada satupun pelaku kejahatan terorganisir di sektor Migas yang ditangkap apalagi diproses peradilan hingga dijatuhi hukuman. Hanya, “baunya” saja yang terus menjadi pembicaraan banyak orang di Republik Indonesia atau mungkin mafia Migas itu nyata ada di Sektor Hilir seperti yang diungkapkan Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis bahwa Persoalan mafia migas aktual yang dihadapi saat ini adalah persoalan oil trading yang dimonopoli oleh mafia yang dekat dengan lingkar kekuasaan. Monopoli mafia inilah yang menggerus APBN dan memberatkan subsidi. Meskipun mafia Migas tersebut belum berhasil dibuktikan secara yuridis formal, sama dengan sektor industri dan layanan pemerintahan lainnya, tentu Migas juga tak luput kena dari praktik korupsi. Kasus Mantan Kepala SKK Migas, RR, menjadi bukti adanya praktik korupsi di lingkungan industri ini yang dalam pengembangan perkaranya juga melibatkan banyak orang yang telah ditetapkan jadi Tersangka dan sedang menjalani proses peradilan. Kasus ini harus dianggap serius, karena melibatkan orang nomor satu di lingkungan SKK Migas, tetapi tentu juga harus fair melihat persoalan ini. Penulis yakin, sama dengan sektor dan badan pemerintah lainnya, masih banyak juga orang yang sangat jujur dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di Industri migas. Jangan kemudian persoalan RR ini, membuat semua pekerja industri migas dipersalahkan sebagai koruptor. Hal ini penting untuk ditegaskan untuk menjaga semangat dan loyalitas pekerja Migas agar terus berjuang untuk Merah Putih.

Dari sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam suatu studinya menyampaikan bahwa pada 2011 saja, ada Rp 152,96 T yang diselamatkan dari potensi keuangan negara di sektor Migas. terdiri atas penyelamatan keuangan negara dan kekayaan negara dari sektor hulu migas sebesar Rp 152,43 T dan penyelamatan potensi keuangan negara akibat pengalihan hak barang milik negara (BMN) sebesar Rp 532,20 M. Ada 4 rekomendasi yang diberikan KPK kepada industri Migas, yakni 1. Perbaikan Sistem dan Manajemen Aset, 2. Perbaikan dan Pengawasan yang lebih ketat terhadap penghitungan Cost Recovery, 3. Pencatatan Lifting dengan sistem informasi yang terintegrasi dan online, dan 4. Pengawasan Penerimaan Negara dari Sektor Pajak Migas. Tidak hanya KPK, Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) pada 2013 juga telah melakukan pemeriksaan kepada SKK Migas dengan hasil temuan antara lain sistem informasi evaluasi dan monitoring Authorization for Expenditure (AFE) belum tersedia, klausul pencadangan dana Abandomenment and Site Restoration (ASR) belum tercantum dalam setiap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), formula rig service, pengawasan eksplorasi lemah, serta status kekayaan negara pada SKK Migas belum ditetapkan. Oleh sebab itu, untuk kemajuan industri hulu Migas di masa mendatang, BPK RI menghimbau kepada seluruh jajaran SKK Migas untuk memperbaharui komitmen dengan menghindari kekuasaan mutlak pada satu orang, membuat sistem untuk meminimalkan risiko, membuat desain dan menerapkan fraud control system serta, membudayakan kerja bersih, transparan dan akuntabel. Berkaca dari kasus RR, isu mafia migas, studi KPK di sektor Migas dan Hasil Pemeriksaan BPK RI, Pemerintahan yang akan datang harus lebih serius untuk mengatasi persoalan tersebut dan mengambil pembelajaran serta memperhatikan beberapa temuan dan rekomendasi yang telah dinyatakan dan diberikan demi perbaikan Industri Hulu Migas yang lebih bebas dari praktek Korupsi dan Mafia agar manfaat Migas bisa untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Asing vs Nasional Isu ini merupakan hal sensitif dan paling sering dibicarakan dalam Industri Hulu Migas yang banyak melibatkan banyak perdebatan baik pro maupun kontra atau “pro dengan keterpaksaan dengan mempertimbangkan modal atau pembiayaan investasi disektor ini”. Berbicara isu ini tentu tidak lepas dari 4 kata kunci, yakni: 1. Sejarah, 2. Teknologi, 3. Modal, dan 4. Risiko.

Sejarah Republik Indonesia menunjukan bahwa sebelum Proklamasi Kemerdekaan, sudah ada beberapa perusahaan Migas asing yang beroperasi di Indonesia, diantaranya adalah Stanvac yang memegang Konsesi mulai 1925 sampai 1951, Caltex mulai 1936 sampai 1953 dan Shell sampai 1955 berdasarkan Indische Mijnwet/IM 1899. Pada Agustus 1951, untuk pertama kalinya Dewan Perwakilan Rakyat memberikan perhatian serius terhadap sektor Migas. Adalah Mohammad Hasan, selaku Ketua Komisi Komisi Perdagangan dan Industri di DPR yang mengajukan mosi membentuk satu Panitia Negara Urusan Pertambangan yang kemudian disetujui dengan suara bulat pada Sidang 2 Agustus 1951. Tak lama setelah mosi Mohammad Hasan disebarluaskan ke publik, diadakan pembicaraan antara, Mohammad Hasan dengan manajemen perusahaan asing di Indonesia. Dalam pembicaraan tersebut, pihak perusahaan asing menawarkan pembagian keuntungan 50% : 50% yang kemudian dijawab Mohammad Hasan dengan pertanyaan tentang siapa yang akan menanggung biaya operasi. Kemudian, Mohammad Hasan kembali ke perusahaan asing tersebut dengan usulan agar pembagian 50% : 50% diambil dari hasil produksi, tanpa ikut serta dalam pembiayaan operasi. Hasil pembicaraan inilah menjadi platform pembicaraan dalam renegosiasi Konsesi Stanvac, Caltex dan Shell dimana setelah 2 tahun akhirnya pada Maret 1954 terjadi kesepakatan Pemerintah dengan Stanvac dan selanjutnya pola yang sama dengan Caltex dan Shell. Ketiga kontrak ini yang selanjutnya secara resmi menandai era keterlibatan asing dalam pengolahan Migas nasional pasca kemerdekaan hingga sekarang dengan sistem hukum kontrak yang berbeda karena bergantung dasar hukum peraturan perundang-undangan yang digunakan seperti UU No. 44 Prp Tahun 1960 yang disebut sebagai era Kontrak Karya. Namun, sistem KK ini ditentang Ibnu Sutowo karena dianggap sama saja dengan sistem Konsesi. Pasca Peristiwa G30S/PKI 1965, Ibnu Sutowo mendorong lahirnya sistem bagi hasil dimana dua pihak yang terlibat (pemerintah dan perusahaan asing) berbagi hasil produksi migas yang dihasilkan, bukan berbagi hasil penjualan migas sebagaimana yang dilakukan sistem KK dan Pemerintah selaku tuan rumah juga mempunyai kewenangan manajemen. Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) pertama dalam sejarah industri migas di dunia pada akhirnya berhasil disepakati dan ditandatangani antara Perusahaan Minyak Nasional (Permina) selaku wakil pemerintah dengan perusahaan minyak bernama Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO) yang kemudian pada akhirnya model PSC ini menjadi cikal bakal PSC generasi pertama meskipun dasar hukumnya diperdebatkan. Baru kemudian pada 1971, PSC memiliki dasar hukum yang kuat dengan disahkannya UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina khususnya Pasal 12 sebagai dasar hukum PSC hingga diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001, konsep PSC masih tetap diberlakukan dengan beberapa modifikasi yang menguntungkan negara. Jadi, jelas bahwa dari sudut sejarah, keberadaan perusahaan asing telah hadir dan ikut mengelola sumber kekayaan alam Migas kita jauh sebelum kita merdeka hingga saat ini.

Hal lain yang perlu didiskusikan adalah mengenai Teknologi. Kegiatan mencari cadangan Migas adalah kegiatan bisnis hulu Migas yang pertama dan yang paling penting. Keberhasilan pada kegiatan eksplorasi akan menentukan kegiatan berikutnya dimana kadang tidak selalu ditemukan cadangan minyak. Sekarang ini, terutama di Indonesia sudah jarang sekali cadangan minyak yang berada dekat dengan permukaan. Pengeboran sumur Migas di darat (onshore) sudah biasa hingga kedalaman 4.000 feet atau malah lebih. Bahkan lapangan-lapangan baru yang ditemukan di Indonesia saat ini kebanyakan berada di tengah laut (offshore) dan di laut dalam dengan kedalaman lebih dari 10.000 feet seperti proyek gas laut dalam (Indonesian Deep Water Development/IDD) di Selat Makassar, Kalimantan Timur, yang sedang dikerjakan Chevron. Teknologi juga sangat diperlukan untuk mengaktifkan kembali atau meningkatkan/mempertahankan produksi sumur-sumur tua. Aktivitas pencarian dan perawatan/pengaktifkan ini tentu membutuhkan teknologi canggih. Di satu sisi, beberapa teknologi ini sudah dikuasai anak bangsa melalui beberapa perusahaan nasional seperti Pertamina dan Medco E&P, namun disisi lain masih ada yang belum dikuasai karena beberapa faktor. Menurut Indonesia Petroleum Association melalui Ketuanya, Lukman Mahfoedz, untuk inovasi dan teknologi dunia migas di Indonesia itu 15 sampai 20 tahun ketinggalan teknologinya dibanding luar negeri. Hal ini sangat disayangkan mengingat kebutuhan energi di tanah air sangat tinggi. Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) yang mampu menyediakan teknologi canggih tentu Indonesia sangat ketinggalan. Terutama pada energi shale gas yang saat ini tengah dioptimalkan produksinya. Seperti shale gas di Amerika itu tadinya teknologinya sulit dan sesuatu hal yang tidak mungkin. Tapi akhirnya terjadi, karena teknologi. Ini artinya, perlu upaya dengan melakukan penelitian mendalam, guna menghadirkan teknologi baru di sektor migas. Sehingga teknologi perminyakan di dalam negeri dapat ditingkatkan. Persoalan teknologi baru yang belum diterapkan di Indonesia ini harusnya mendapat bantuan dan dukungan dari pemerintah, mengingat saat ini produksi minyak hanya rata-rata 800 ribu barel per hari (BPH). Jika tidak ada teknologi baru untuk mengelola sumur tua dan mencari sumur-sumur lain, maka produksi minyak akan sulit meningkat.

Selanjutnya mengenai permodalan dan risiko merupakan dua variable yang sangat terkait erat. Apalagi jika mencari Migas di laut dalam. Pada rentang waktu 2009-2013 saja, sebanyak 12 Kontraktor Kontrak Kerja (KKKS) Migas asing mengalami kerugian hingga US$1,9 miliar atau Rp 19 T di 16 Blok Eksplorasi di laut dalam akibat gagal mendapatkan cadangan minyak dan gas yang ekonomis. Akibatnya seluruh kerugian dalam kurun waktu 2009 hingga 2013 tersebut ditanggung sendiri oleh KKKS asing tersebut dan tidak diganti oleh Negara. Untuk modal biaya produksi, sebagai contoh PT Pertamina Hulu Energi West Offshore Madura (PHE WMO) harus mengeluarkan dana investasi hingga US$ 20 juta atau sekitar Rp 200 miliar untuk mengebor satu sumur minyak di di wilayah Madura. Jadi bayangkan berapa besar investasi yang sudah dikeluarkan Pertamina untuk melakukan pengeboran minyak dengan risiko minyaknya belum pasti diperoleh dan tidak diganti negara biaya yang telah dikeluarkan. Selain, risiko kerugian finansial yang sangar besar, resiko lainnya adalah ketidakpastian dan kejelasan tafsiran hukum yang dihadapi oleh KKKS seperti kasus Bioremediasi yang dihadapi pekerja PT Chevron Pacific Indonesia, Kontrak dan ijin yang tidak diperpanjang, dan permasalahan politik nasional. Dengan demikian, jika tidak siap dengan modal finansial yang besar dan berani menghadapi berbagai faktor risiko tentu sangat sulit berinvestasi di Hulu Migas. Apalagi ditambah dengan kondisi dunia perbankan yang masih belum yakin menyalurkan kredit ke KKKS terutama bagi KKKS yang masih dalam tahapan mencari cadangan minyak/eksplorasi.

Jadi, ketika kita bicara isu asing dan nasional, maka permasalahan sejarah, teknologi, midal dan risiko hendaknya menjadi bahan pertimbangan utama dalam menentukan bagaimana sebaiknya kekayaan alam Migas kita dapat dikelola sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini nanti akan berkaitan dengan bagaimana baiknya Industri Hulu Migas kita ditata dengan prinsip utama kemakmuran rakyat.

Tata Kelola Migas Bicara Tata Kelola Migas tidab boleh lepas dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2013. Ada 2 hal substansial yang menjadi dasar bagaimana konstitusi memaknai pengelolaan sumber daya alam Migas dan pembubaran badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) karena diputuskan bertentangan dengan Konstitusi. Dalam Putusan a quo, dinyatakan bahwa tujuan utama dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sehingga implementasinya ke dalam pengorganisasian negara dan pemerintah pun harus menuju kearah tercapainya tujuan tersebut. Menurut MK, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Menurut Mahkamah, pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945. Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan kemampuan baik dalam modal, teknologi dan manajemen untuk mengelola sumber daya alam Migas, maka pengelolaan sumber daya alam dapat diserahkan kepada badan swasta.

Menurut Mahkamah hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara. Negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsensi untuk mengelola Migas di Wilayah hukum Pertambangan Indonesia atau di Wilayah Kerja, sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, sehingga hubungannya tidak lagi antara negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetapi antara Badan Usaha dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Pendapat Mahkamah lainnya adalah jika, BUMN yang dibentuk atau ditunjuk nanti ingin bekerjasama dengan BU atau BUT, maka bentuk KKS selain kontrak bagi hasil adalah tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan tidak melanggar prinsip penguasaan negara yang dimaksud dalam konstitusi.

Pendapat-pendapat Mahkamah Konsitusi inilah yang harus digunakan dalam revisi UU Migas 2001, baik yang mengatur lembaga maupun bagaimana cara lembaga mengelola atau berkontrak dengan dengan pihak lain. Revisi UU Migas ini nantinya diharapkan untuk mendukung peningkatan cadangan migas dan kapasitas nasional dan perubahan tata kelola dilakukan untuk memperkuat peran negara dan pengelolaan migas yang menjamin transparansi dan mengacu kepada tujuan utamanya: Kemakmuran Rakyat Indonesia.

Permasalahan Operasional Lapangan Migas Usaha pencarian minyak bumi di Indonesia terinspirasi oleh keberhasilan Edwin L. Danke menemukan minyak secara komersial di Titusville, negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 27 Agustus 1859. Kesuksesan tersebut mendorong orang-orang Belanda melakukan eksplorasi minyak bumi di Hindia Belanda. Selama paruh kedua abad XIX, banyak pengusaha dan pegawai Hindia Belanda mulai aktif mencari informasi dimana terdapat lokasi rembesan minyak bumi (oil seepage). Menurut catatan yang ada di Belanda, hingga 1869 sudah ditemukan 53 lokasi rembesan minyak bumi di seluruh Nusantara. Pencarian minyak bumi di Indonesia dimulai oleh Jans Reerink sejak 1871. Ia memperoleh informasi adanya rembesan minyak bumi di Desa Palimanan, Kecamatan Maja, dan Desa Cibodas, Majalengka, Jawa Barat. Pengeboran perdana dilakukan pada 1871 di sumur Madja-1 atau Cibodas Tengah 1, Jawa Barat, dan berhasil mendapatkan minyak. Namun, kegiatan pencarian ini hanya berjalan satu tahun, kemudian dihentikan karena produksinya terus menurun dan dinilai tidak ekonomis.

Setelah kegagalan Jans Reerink, warga Belanda lainnya bernama Aeliko Jans Zijlker pada 1882 menemukan rembesan minyak bumi di kawasan Telaga Said, suatu kawasan perkebunan karet dan tembakau di Langkat, Sumatera Utara. Dimana kemudian ia memperoleh konsesi di kawasan tersebut pada 8 Agustus 1883 dari Sultan Langkat. Kemudian, pada 1884 Zijkler memulai proyek pengeboran beberapa sumur eksplorasi . Sumur pertama di Telaga Said menghasilkan minyak 200 liter pada kedalaman 200 meter dan dinyatakan sebagai penemuan tidak ekonomis. Pengeboran kedua juga gagal, hanya mendapatkan air. Pengeboran berikutnya dilakukan di Telaga Tunggal ternyata cukup sukses. Sumur tersebut mendapatkan minyak 1.710 liter (10,6 barel) pada kedalaman 21 meter dan pada kedalaman 31 meter kembali ditemukan minyak sebesar 86.402 liter (540 barel). Pada kedalaman 121 meter terjadi semburan kuat dari gas, air dan minyak (blowout) sehingga pengeboran dihentikan. Berdasarkan fakta tersebut, maka sumur Telaga Tunggal 1 dinyatakan sebagai sumur minyak komersial pertama yang ditemukan di Hindia Belanda.

Sejak saat itu hingga saat ini sudah banyak perusahaan-perusahaan baik asing maupun dalam negeri yang melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi, dimana dalam menjalankan kegiatan eksplorasi dan produksi tidak sedikit hambatan dan tantangan yang dihadapi para pelaku usaha di sektor industri ini. Dalam perjalanan sejarah industri hulu migas, permasalahan yang dihadapi jika dikelompokan secara garis besar terbagi atas dua bagian yakni: Permasalahan teknis dan non-teknis.

Permasalahan Teknis diawal-awal kegiatan hulu migas merupakan masalah yang sangat pokok dan menjadi fokus penyelesaian masalah semua pelaku usaha. Hal ini dikarenakan pada kondisi awal, yakni pada masa kolonialisme hingga era awal kemerdekaan sekitar tahun 1945-1967, teknologi dan peralatan penunjangnya masih sangat minim dan tradisional, hal ini dikarenakan masih minimnya teknologi di bidang hulu migas dan masih terbatasnya alat-alatnya sehingga untuk melakukan kegiatan eksplorasi saja kesulitan apalagi melakukan kegiatan pemeliharaan pada masa produksi.

Namun demikian, pada masa-masa awal, permasalahan non-teknis juga sudah mulai timbul sebagaimana yang terdokumentasikan tentang permasalahan perburuhan dan hubungan sosial yang dihadapi PERTAMINA di Pangkalan Berandan. Dalam perkembangannya, dimana disisi Permasalahan teknis sudah teratasi dengan baik dan tidak begitu berarti terhadap permasalahan yang muncul dikarenakan perkembangan teknologi dan alat-alat yang sangat canggih untuk mendukung kegiatan hulu migas, disisi lain justru permasalahan non-teknis semakin banyak dan semakin variatif macamnya serta semakin merusak dalam hal skala kerugiannya (materi maupun immateriI/jiwa).

Tidak bisa dipungkiri, saat ini masalah sosial kemasyarakatan menjadi kendala besar kegiatan industri hulu Migas di Indonesia. Perbedaan persepsi, ketidaklengkapan informasi dan benturan berbagai kepentingan telah menimbulkan konflik sosial yang menghambat kegiatan eksplorasi dan produksi, termasuk memunculkan isu-isu permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika melihat data dalam Laporan Tahunan SKK Migas 2012, ada beberapa jenis gangguan keamanan di Industri Hulu Migas, yakni pencurian/perampokan sebanyak 908 kasus (61,29%), sengketa tanah sebanyak 235 kasus (17.80%), ancaman sebanyak 105 kasus (7,95%), perusakan material sebanyak 66 kasus (5%), unjuk rasa sebanyak 53 kasus (4,02%), dan pencurian minyak sebanyak 52 kasus (3,94%).

Mengendalikan konflik dan permasalahan sosial keamanan di tengah-tengah heterogenitas masyarakat Indonesia bukanlah hal yang mudah. Oleh sebab itu, mengindentifikasi permasalahan menjadi tugas yang pertama. Permasalahan yang sedang atau pernah dihadapi migas yakni: 1. Masih tidak sinkronnya antara peraturan di sektor migas dengan peraturan di sektor lain, seperti peraturan di sektor kehutanan, sektor perkebunan, dan sektor pertanahan. Misalnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, berbagai peraturan perundang-undangan yang ada harus mendukung dan sinkron dengan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi. Sehingga kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dapat meningkat dan pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah pruduksi (lifting) minyak dan gas bumi; 2. Persoalan pengunaan atau pemanfaatan tanah yang tumpang tindih dengan sektor lain, seperti sektor perkebunan dan sektor kehutanan. Hal ini menghambat kelanjutan dari kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi; 3. Belum meningkatnya produksi (lifting) minyak bumi Indonesia sejak tahun 2004. Seperti diketahui bahwa produksi (lifting) minyak bumi Indonesia sejak tahun 2004 rata-rata berjumlah 950.000 BOPD sampai 970.000 BOPD. Sementara kebutuhan akan bahan bakar minyak di dalam negeri terus meningkat setiap tahun; 4. Permasalahan birokrasi di daerah, khususnya birokrasi pemerintah kabupaten dan kota yang cenderung menghambat kelancaran dari kegiatan usaha di sektor hulu minyak dan gas bumi. Permasalahan ini memang tidak secara langsung terkait dengan norma dalam undang-undang. Tetapi secara tidak langsung mempengaruhi kinerja di sektor pertambangan minyak dan gas bumi; 5. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak di dalam negeri, maka mau tak mau Pemerintah harus menambah suplai. Penambahan suplai atau pasokan bahan bakar minyak tentu harus menambah stok minyak mentah oleh negara. Di masa yang akan datang, pemerintah perlu mengeluarkan peraturan atau kebijakan untuk memberikan prioritas terhadap peningkatan suplai minyak mentah ke pasar dalam negeri (domestic market obligation) untuk kepentingan nasional; 6. Sumber alam minyak dan gas bumi merupakan sumber energi yang cenderung akan habis dan tidak dapat diperbarui (depletion). Oleh karena itu, perlu kebijakan untuk mengembangkan energi pengganti cadangan minyak dan gas bumi di masa datang. Untuk mendukung hal tersebut, dibutuhkan dana untuk mengembangkan energi alternatif khususnya sebagai pengganti energi bahan bakar minyak. Untuk itu perlu ada dana yang diperoleh dari hasil eksploitasi/produksi minyak dan gas bumi (petroleum fund) yang dikelola secara bersama antara Pemerintah dan Badan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi. Dana ini berbeda dengan dana reklamasi tambang migas; 7. Manajemen Konflik. Perusahaan-perusahaan yang bekerja pada industri minyak dan gas bumi (migas) sangat terkait dengan persoalan lahan dan sosial kemasyarakatan, utamanya ketika perusahaan-perusahaan ini melakukan eksplorasi dan eksploitasi di suatu lahan yang patut diduga terdapat kandungan minyak dan gas bumi. Oleh karena itu, kapasitas perusahaan dalam menangani konflik pertanahan dan sosial mutlak diperlukan. Kapasitas manajemen konflik perusahaan diukur dari sejauh mana tim internal perusahaan memiliki kemampuan untuk membangun komunikasi, konsultasi, dan kepercayaan dengan pihak kedua dan ketiga dalam konflik, sedemikian rupa sehingga potensi-potensi konflik dapat dideteksi sejak dini dan diantisipasi sejak awal. Dengan demikian, potensi-potensi konflik dapat dikelola dan dikonversi menjadi kekuatan positif bagi bekerjanya perusahaan dan terjaganya hak-hak masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan beroperasi. Dari beberapa studi kasus, kapasitas manajemen konflik untuk perusahaan-perusahaan migas dirasakan sangat kurang. Hal ini ditandai masih kurangnya kapasitas personal perusahaan dalam penanganan konflik. Sehingga dalam penanganan konflik sering berlarut-larut dalam rentang waktu yang cukup lama. 8. Masalah Pertanahan. Kebijakan pertanahan yang overlapping dan kurang mendukung bekerjanya perusahaan-perusahaan migas melahirkan potensi konflik yang besar antara perusahaan dan warga setempat. Pada saat yang sama, perusahaan dikenai tangggung jawab untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan pelanggaran hak-hak masyarakat setempat. Dilema ini tak makin ringan dengan adanya regulasi baru di bidang pertanahan, yaitu UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah). Beberapa kalangan menilai UU Pengadaan Tanah tidak sejalan-selaras dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. UU ini dikhawatirkan akan menghambat proses pengadaan tanah, yang pada akhirnya menyulitkan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber migas oleh perusahaan karena adanya potensi konflik dengan masyarakat pemilik atau penguasa tanah. Persoalan regulasi ini menambah daftar panjang masalah yang dihadapi perusahaan-perusahaan migas, termasuk regulasi yang menerapkan mekanisme dengan rentang waktu pengurusan perijinan dan pengadaan tanah yang lama; 9. Masalah Program Corporate Social Responsibity/Community Development. Program sosial berupa CSR/Comdev yang diharapkan sebagai kontribusi pembangunan ekonomi/kesejahteraan untuk masyarakat disekitar lokasi pertambangan dan migas masih dirasakan sangat kurang. Sangat sedikit sekali perusahaan yang memberikan kontribusi CSR-nya kepada masyarakat sebagai niatan untuk membuat kehidupan masyarakat lokal jadi lebih baik. Dibeberapa kasus, program-program CSR dilaksanakan hanya untuk memenuhi kewajiban program yang sudah dianggarkan, kurang menggali kebutuhan nyata dari masyarakat lokal sehingga dianggap kurang bahkan tidak tepat sasaran yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan pada pihak masyarakat dan mengakibatkan timbulnya konflik dengan perusahaan. Dari segi jumlah anggaran juga dianggap kurang signifikan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dibandingkan jumlah nominal pendapatan yang diperoleh dari lokasi produksi yang berada di ‘kawasan’ masyarakat. Untuk memastikan kebutuhan dasar warga diperlukan need assesment study untuk mengetahui kebutuhan dasar warga dan program yang diperlukan dalam rangka pemberdayaan mereka. CSR/Comdev tidak dapat dimaknai sebagai upaya menggantikan peran atau tanggung jawab Pemerintah Pusat/daerah, akan tetapi menjadi stimulus dalam menggerakan dinamika ekonomi dan sosial masyarakat; 10. Sistem dan pola pengamanan dan keamanan yang berada di kawasan migas menggunakan aparat organik (kepolisian) maupun keamanan internal perusahaan yang dalam penanganan beberapa kasus menggunakan hard approach yang justru mengakibatkan konflik yang lebih terbuka dan meluas serta mengakibatkan timbulnya korban luka dan korban jiwa di pihak-pihak yang terkait, khususnya pihak non-perusahaan dan non-satuan keamanan. Dari beberapa wawancara dan pemeriksaan yang dilakukan oleh penulis terhadap petugas keamanan, ternyata sebelum mereka ditempatkan disuatu lokasi kawasan pertambangan dan migas, mereka tidak dibekali dengan suatu wawasan HAM dan pendekatan manajemen konflik berbasis HAM. Padahal seharusnya sudah ada UU Kepolisian RI dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mewajibkan dimanapun anggota Polri bertugas harus menghormati HAM, dan juga untuk beberapa perusahaan tertentu untuk bidang pertambangan dan migas diwajibkan menggunakan pendekatan HAM dalam sistem keamanannya. Sehingga, pemajuan dan penghormatan HAM dalam sistem keamanan perusahaan seharusnya sangat penting untuk segera dilaksanakan; 11. Masalah Perijinan terkait Politik Lokal. Sengketa dan/atau konflik dibeberapa kasus juga disebabkan adanya konfigurasi kepentingan politik lokal, utamanya pemimpin kepala daerah, yang pada akhirnya menyulitkan perusahaan dan menyebabkan terjadinya konflik dengan masyarakat. Umumnya dipicu dari masalah perijinan dan kontribusi perusahaan bagi pendapatan pemerintah daerah. Perlu mendapat perhatian adalah terbitnya ijin-ijin usaha yang terbit menjelang berakhirnya masa jabatan Bupati dan/atau menjelang Pemilihan Kepala Daerah, informasi yang diperoleh penulis menunjukan grafik kenaikan yang sangat tinggi terkait fenomena tersebut. Harus ada kewaspadaan semua pihak, bahwa perijinan jangan menjadi sarana untuk memenuhi ongkos politik, jika incumbent kalah dan Bupati/Walikota terpilih tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap perusahaan, lantas masyarakat yang akan dirugikan kembali; 12. Permasalahan tata batas wilayah umumnya bersumber kepada perebutan atas sumber daya alam yang terkandung di kawasan yang direbutkan tersebut atau perebutan nilai ekonomisnya. Masalah ini biasanya dipicu masalah sengketa ijin luasan kawasan yang diberikan untuk usaha yang mengakibatkan terjadi sengketa atau konflik diantara masyarakat dengan perusahaan, perusahaan dengan perusahaan, bahkan konflik horizontal diantara masyarakat sendiri. Beberapa data Kementerian Dalam Negeri menunjukan konflik tata batas salah satu sumbernya adalah perebutan sumber daya alam Migas seperti kejadian di Kabupaten Musi Rawas dengan Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Akibat berlarut-larutnya konflik tata batas tersebut yang sangat dirugikan adalah masyarakat sehingga pemenuhan hak asasi manusianya terganggung, diantaranya mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, kependudukan, dan bahkan adanya praktek kriminalisasi.

Kesejahteraan Masyarakat Lokal vs dana Bagi Hasil Daerah Permasalahan lain adalah semakin meningkatnya tuntutan daerah terhadap bagi hasil minyak dan gas bumi. Daerah merasa bahwa mekanisme perhitungan bagi hasil minyak dan gas bumi kurang transparan. Sehingga daerah menuntut diikutsertakan dalam perhitungan bagi hasil produksi (lifting) minyak dan gas bumi dari hasil produksi di daerahnya. Di samping itu, saat ini daerah terus gencar ingin berpartisipasi dalam hal kegiatan hulu minyak dan gas bumi, dengan dibentuknya beberapa BUMD yang sedang dan ingin berinvestasi pada kegiatan eskplorasi dan eksplorasi minyak dan gas bumi di wilayahnya. Permasalahan ini perlu dibicarakan secara khusus karena banyak konflik antara perusahaan Migas dengan masyarakat sekitar operasi dipengaruhi juga faktor kesejangan ekonomi dan struktur sosial. Masyarakat beranggapan kehadiran perusahaan di wilayahnya tidak membawa dampak kesejahteraan bagi mereka padahal di satu sisi, perusahaan “mengambil” minyak di “wilayah” mereka.

Sedangkan, di sisi lain perusahaan juga menganggap bahwa tugas mensejahterahkan masyarakat bukanlah menjadi tugas utama perusahaan tapi perusahaan beperan membantu atau berpartisipasi semampunya melalu program sosial kemasyarakatan yang dimiliki perusahaan. Seharusnya program peningkatan kesejahteraan masyarakat dari sektor Migas menggunakan Dana Bagi Hasil Daerah dan merupakan tanggung jawab pemerintah setempat.

Dasar hukum Dana Bagi Hasil untuk daerah adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jenis dana perimbangan adalah Dana Bagi Hasil; Dana Alokasi Umum; dan Dana Alokasi Khusus. Jumlah Dana Perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN (Pasal 10). Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam termasuk di dalamnya yang berasal dari sektor kehutanan; pertambangan umum; perikanan; pertambangan minyak bumi; pertambangan gas bumi; dan pertambangan panas bumi (Pasal 11). Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah {Pasal 14 ayat (2) huruf e}. Sedangkan penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah {Pasal 14 ayat (2) huruf e}. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke Daerah adalah Penerimaan Negara dari sumber daya alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya {Pasal 19 ayat (1)}. Pada ayat (2), (3), dan (4) diatur mengenai besarnya porsi bagi hasil bagi Pemerintah daerah dan rincian porsi bagi hasil antara daerah provinsi, kabupaten/kota penghasil dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Adapun rincian bagian daerah dari Minyak Bumi sebesar 15% (lima belas persen) dibagi sebagai berikut: 1. 3% (tiga persen) untuk provinsi yang ber-sangkutan; 2. 6% (enam persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 3. 6% (enam persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Sedangkan rincian bagian daerah dari Gas Bumi sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi sebagai berikut: 1. 6% (enam persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 2. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 3. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan, dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk daerah sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dengan rincian pembagian: 0,1% (satu persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 0,2% (dua persepuluh persen) untuk kabupaten/ kota penghasil; dan 0,2% (dua persepuluh persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, yang dibagikan dengan porsi yang sama besar (Pasal 20). Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi (Pasal 25).

Adapun Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil yang berasal dari sektor minyak bumi dan gas bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan. Dalam hal Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi melebihi 130% (seratus tiga puluh persen), penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan (Pasal 24).

Secara sederhana, proses perhitungan DBH dimulai dari laporan lifting Migas dari SKK Migas yang setiap bulan diterima oleh Kementerian Keuangan dan selalu diverifikasi. Hal ini untuk memastikan bahwa uang yang diterima di rekening Kementerian Keuangan di Bank Indonesia sama besarnya dengan yang dilaporkan oleh SKK Migas. Proses rekonsiliasi ini dilakukan bulanan dan selalu difinalkan dalam bentuk laporan resmi setiap tiga bulanan. Apalabila sudah dapat dipastikan bahwa laporan tersebut telah sesuai dan selesai diverifikasi, maka kementerian Keuangan cq. Dirjen Anggaran akan melakukan perhitungan besarnya DBH per KKKS. Penerimaan Negara per KKKS akan dikurangi faktor pengurang per KKKS sehingga akan diperoleh besarnya Penerimaan Negara Net per KKKS, yang sekaligus merupakan cikal bakal dari DBH. Faktor pengurang penerimaan per KKKS itu terdiri dari dari PPN Reimbursement, PBB Migas, PDRB, Fee Kegiatan Hulu Migas, dan DMO Fee. Pada beberapa kasus apabila terdapat Penerimaan Negara atau Kewajiban Negara terhadap over-under lifting tahun sebelumnya, maka elemen ini juga harus dimasukkan dalam perhitungan. Hasil perhitungan tersebut selanjutnya disampaikan kepada Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan. Tahap berikutnya adalah proses menghitung alokasi dana dan penyalurannya. Untuk itu Dirjen Perimbangan Keuangan akan menggunakan dua dokumen. Pertama, laporan lifting per daerah penghasil ESDM dalam bentuk Surat Keputusan Menteri ESDM. Kedua, laporan Penerimaan Negara Net per KKKS, biasanya dinyatakan dalam bentuk Surat Keputusan Dirjen. Oleh Dirjen Perimbangan Keuangan data tersebut diolah sehingga diperoleh BDH yang akan dialokasikan ke Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Oenghasil dan Pemerintah Daerah Non Penghasil Migas. Pengalokasian DBH ini akan dituangkan ke dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan. Penyaluran DBH Migas ke Pemerintah Daerah akan didasarkan SK Menteri Keuangan tersebut. Kesimpulan

Dari pemaparan yang sudah dikemukakan Penulis, sepertinya banyak sekali permasalahan yang sedang dihadapi Industri Hulu Migas tetapi permasalahan ini tidak akan pernah selesai manakala sekedar dijadikan bahan diskusi terus menerus tanpa eksekusi. Oleh sebab itu, diharapkan Pemerintahan Periode 2014-2019 segera mengambil langkah-langkah nyata untuk perbaikan bahkan penyelamatan kegiatan hulu Migas. Hal yang pertama hendaknya dilakukan adalah segera mempercepat revisi UU Migas dengan materi pasal yang mendukung tercapainya kemakmuran rakyat dan meningkatkan kapasitas cadangan energi nasional sebagaimana rekomendasi yang pernah disampaikan KPK, BPK, SKK Migas, Kementerian ESDM, Praktisi dan Pemerhati Migas dan sambil menunggu pengesahan UU Migas baru, Presiden perlu melakukan urun rembug bersama dengan praktisi dan pemerhati/pengamat Migas guna mencari solusi yang terbaik dan tepat sasaran. Salaam,

Husendro

Sumber Bacaan Buku-buku A. Rinto Pudyantoro. A to Z Bisnis Hulu MIGAS. Jakarta: Petromindo 2012. Barlet Anderson. Pertamina Indonesia National Oil. Singafore American Ltd, 1972. Benny Lubiantara. Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Jakarta: Grasindo 2012. Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002 Elli Rusliana. Makna Pasal 33 UUD 1945 Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia. Dalam Jurnal Konstitusi. Volume 9 November 2012. Jakarta: Kepaniteraan dan Skretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012. Gunawan Wijaya, Alternative Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Hady Daryono, dkk. Dari Pangkalan Brandan Migas Indonesia Mendunia. Jakarta: Petrominer 2013. Madjedi Hasan. Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum. Jakarta: Fikahati Aneska, 2009. Sukandarrumidi. Geologi Minyak dan Gas Bumi: untuk Geologist Pemula, Jakarta: Gadjah Mada University Press, 2013. Syaiful Bahkri. Migas untuk Rakyat: Pergulatan Pemikiran dan peradilan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Grafindo 2012.

Badan Pemerintah Komisi Pemberantasan Korupsi: www.kpk.go.id Badan Pemeriksa Keuangan: www.bpk.go.id SKK Migas: www.skkmigas.go.id Kementerian ESDM: www.esdm.go.id

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *