TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN DALAM PERLINDUNGAN, PENGHORMATAN DAN PEMULIHAN HAK-HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Pointers Tanggung Jawab Perusahaan dalam Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan HAM

A. Pengantar 1. Perdebatan tentang bisnis dan HAM yang melibatkan isu tentang sejauh mana perusahaan terikat dengan sejumlah tanggung jawab dalam penghormatan HAM mulai menyeruak dalam diplomasi internasional pada 1990-an. 2. Wacana tentang bisnis dan HAM digerakkan oleh fenomena meluasnya daya cengkeram dan kekuasaan ekonomi perusahaan-perusahaan multinasional, utamanya perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor minyak, gas, dan pertambangan yang bersifat ekstraktif, di satu sisi dan melemahnya kontrol negara terhadap aktivitas perusahaan multinasional dalam ekstraksi sumber daya alam di sisi lain. 3. Perusahaan multinasional tumbuh dan berkembang menjadi aktor nonnegara paling kuat, baik secara ekonomi maupun politik. Kekuatan inilah yang dipandang menjadi faktor yang menjadikan perusahaan sebagai aktor yang dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Perusahaan memiliki lingkup pengaruh dan keterlibatan, baik langsung maupun tak langsung, dengan sejauh mana penikmatan HAM oleh warga negara terlanggar atau terpenuhi.

B. Perusahaan dan Pelanggaran HAM 4. Perusahaan multinasional berperan penting dalam ekonomi negara. Ia tak hanya menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, dan pendapatan negara, tetapi juga sebagai sumber investasi langsung yang dibutuhkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, seperti penambangan minyak, gas, emas, nikel, batubara, dan tembaga. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan besar ini acapkali terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung, dalam sejumlah pelanggaran HAM. 5. Sebuah studi menunjukkan dampak negatif akibat investasi perusahaan multinasional di berbagai negara terhadap tergusurnya hak-hak masyarakat adat. Tabel 1 di bawah menggambarkan dengan jelas fenomena ini (Hitchock dalam Kasim [2010]). 6. Banyak perusahaan besar yang bergerak di lapangan keagrariaan dan pengelolaan sumberdaya alam, baik di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan kelautan, menjadi entitas usaha yang berkontribusi pada lahirnya ketimpangan sosial dan keterbelakangan ekonomi, konflik dan kekerasan sosial, serta kerusakan lingkungan yang bermuara pada pelanggaran HAM warga negara.

TABEL 1 Proyek perusahaan multinasional yang berakibat negatif bagi HAM dan lingkungan masyarakat adat di berbagai negara.

Perusahaan Negara Dampak Ecuador Oil Developments [Petroequador, Maxus Oil Co.]

Total, Unocal [Union Oil Company of California]

Royak Dutch Shell

Tanzania Wheat Project

Borneo Logging [Mitshubishi]

Western Desert Mining [Rio Tinto Zinc].

Uranium Mining [Kerr-McGee]

Agricultural Project [Swft-Armour, King Ranch] Ecuador

Burma

Nigeria

Tanzania

Malaysia

Australia

New Mexico

Brasil

Waorani dan masyarakat adat lainnya tergusur dari tanahnya, kanekaragaman hayati hilang, air terkena racun, dan kerusakan lingkungan secara massif karena tumpahan minyak.
Terlibat dalam pelanggaran hak-hak buruh dan menggunakan budak.

Perusakan lingkungan, penindasan, perampasan milik rakyat Ogoni, penangkapan dan penahanan dengan sewenang-wenang, dan menghukum mati aktivis lingkungan.

Pemindahan secara paksa, pelecehan dan penahanan, serta pengurangan akses.

Perusahakan hutan, dan penindasan atas suku punan dan masyarakat asli lainnya.

Aborigin tergusur dari wilayah tradisionalnya, polusi dan perusakan sumber daya.

Penambang-penambang Navajo menderita kanker dan penyakit lainnya, tetapi mendapat kompensasi dan bantuan sangat minimal.

Pembersihan hutan dan timbulnya konflik-konflik sosial.

Sumber: Hitchock dalam Kasim (2010)

Di Indonesia, perusahaan multinasional kerap dihubungkan dengan memburuknya penikmatan HAM warga negara. Sejumlah kasus, seperti kasus Freeport (Papua), kasus Newmont (Buyat), kasus Lapindo Brantas (Sidoarjo), dan kasus Perampasan tanah (sawit untuk agrofuel)—untuk menyebut beberapa saja—menunjukkan betapa bisnis dan HAM saling terkait satu sama lain. Sayangnya, keterkaitan itu memiliki hubungan yang berbanding terbalik: eksplorasi sumber daya alam meningkat tetapi harus mengorbankan penikmatan HAM warga negara.
Hubungan yang berbanding terbalik itu tampak dengan ditemukannya ketimpangan kepemilikan sumber daya yang bermuara pada konflik antara warga dan perusahaan, terjadinya kerusakan lingkungan hidup, serta mendalamnya kemiskinan yang diderita komunitas setempat.
C. Pergeseran Paradigma dalam HAM 9. Wacana yang menempatkan HAM dalam agenda kebijakan perusahaan dipicu oleh revolusi teknologi informasi yang menghubungkan dunia dengan sangat dekat dan cepat, serta meningkatnya kesadaran dan perhatian konsumen pada isu perburuhan di perusahaan dimana produknya mereka beli. Adapun faktor lainnya adalah privatisasi yang meningkatkan pengaruh bisnis, juga perhatian pemangku kepentingan (utamanya NGO yang mengalami pertumbuhannya pesat luar biasa) bahwa perusahaan harus bertanggung jawab kepada publik. Di atas semua itu, sebagaimana disebut pada paragraf 4—8, penempatan aspek HAM dalam bisnis lebih banyak ditekan oleh beberapa peristiwa penting dimana sektor bisnis memiliki dampak dan kontribusi serius terhadap pelanggaran HAM. 10. Wacana awal untuk mengatur kegiatan perusahaan dimulai pada 2004 ketika Komisi HAM PBB merilis “Draft Norma Tanggung Jawab Perusahaan Multinasional dan perusahaan lainnya”. Norma tersebut membebankan tanggung jawab yang mengikat perusahaan secara langsung di bawah hukum HAM internasional. Negara tetap sebagai pemangku kewajiban utama, sementara perusahaan menjadi pemangku kewajiban sekunder. Kewajiban perusahaan mengikat di tempat dimana perusahaan itu memiliki pengaruh. Namun demikian, norma tersebut ditentang kelompok bisnis, tetapi didukung kelompok pembela HAM. Komisi HAM lalu batal mengadopsi dokumen tersebut, tetapi meminta Sekjen PBB mengangkat Perwakilan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM, John Ruggie, untuk mengklarifikasi peran dan tanggung jawab negara, perusahaan, dan aktor lain dalam bisnis dan HAM. 11. Wacana yang timbul tenggelam dalam diplomasi internasional tersebut telah menggeser paradigma tentang aktor penanggung jawab dalam penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Paradigma lama berwatak state-centric dimana negara ditempatkan sebagai pemangku kewajiban dalam rejim HAM internasional atau yang dikenal sebagai konsep state responsibility. Negara dipandang sebagai pemangku kewajiban (duty-holder) dan individu ditempatkan sebagai pemegang hak (rights-holder). Paradigma tersebut menjadi landasan berbagai kaidah hukum perjanjian HAM internasional, misalnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam dua kovenan tersebut, negara—dan bukan aktor manapun—bertanggung jawab untuk melindungi HAM. Dengan demikian, perusahaan atau badan hukum lain dinilai bukan subjek dalam hukum HAM, baik sebagai pemangku kewajiban (duty holder) maupun sebagai pemangku hak (rights holder). 12. Dalam paradigma lama tersebut, perusahaan atau badan hukum lain tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum (legal responsibillity) untuk menghormati HAM. 13. Paradigma lama ini kemudian mengabaikan fakta mutakhir tentang hadir dan menguatnya perusahaan-perusahaan multinasional yang, baik langsung atau tidak langsung, terlibat dalam pelangggaran HAM di negara-negara Dunia Ketiga. 14. Paradigma baru merebak di tengah ketidakpuasan komunitas internasional karena pembebanan tanggung jawab HAM yang hanya bertumpu kepada negara tidak lagi memadai. Seiring dengan meningkatnya peran dan kekuatan ekonomi-politik perusahaan multinasional, muncul desakan untuk membangun paradigma baru yang mulai mempertimbangkan aktor-aktor nonnegara, dalam hal ini perusahaan multinasional. Menurut paradigma baru ini, perusahaan multinasional atau badan-badan hukum lain di luar negara dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum (legal responsibillity) atas pelanggaran HAM yang mungkin mereka lakukan. 15. Ada empat faktor yang saling berkaitan mengapa perusahaan multinasional dikenai tanggung jawab terhadap penghormatan HAM, yaitu: (1) kekuasaan ekonomi perusahaan multinasional; (2) sifat internasional dari perusahaan multinasional; (3) dampak operasi perusahaan multinasional; (4) terbatasnya kemampuan negara mengatur perusahaan multinasional. Menurut argumen ini: “The size and power of multinational corporation and the impact of such corporation on human rights is equivalent to that of many nation-states. As result, broadening the scope of liability for human rights violations under various international covenant so as encompass multinational corporations [as well as nation-state] should be considered.” (Lippman 1992: 392—399 dalam Kasim [2010]). 16. Menuntut pertanggungjawaban perusahaan multinasional dengan argumen hukum perjanjian HAM internasional dan menggunakan hukum negara di mana kantor pusat perusahaan multinasional itu berkedudukkan, seperti dalam kasus Union Carbiede, Texaxo, Dow Chemical Co, seringkali gugur karena sulit memenuhi kualifikasi gugatan yang ditentukan oleh hukum setempat, yakni hukum Amerika Serikat. Gugatan terhadap Union Carbidge oleh masyarakat korban (masyarakat Bopal, India), misalnya, tidak diterima karena gugatan tersebut tidak dapat memenuhi doktrin “forum non conveniens (Kasim, 2010). 17. Pengalaman gugurnya gugatan-gugatan HAM terhadap perusahaan multinasional mendorong adanya perluasan konsep liability untuk pelanggaran HAM agar perusahaan multinasional dapat dimintai pertanggunggugatannya dengan dasar hukum perjanjian HAM internasional. Argumen pertama berlandaskan pada Universal Declaration of Human Rights (1948) yang menyebutkan bahwa “every individual and every ‘organ of society society’ to play their part in securing the observance of human rights. Perusahaan yang dikategorikan sebagai “organ of society society” memiliki tanggung jawab untuk “promoting and securing those human rights set forth in the Universal Declaration”. 18. Dampak nyata yang timbul akibat kehadiran perusahaan multinasional terhadap penikmatan HAM warga negara di negara berkembang yang cukup massif telah menggeser paradigma dalam hukum HAM internasional. Perwakilan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM menyebutkan: “corporate responsibility is being shaped through the interplay of two developments: one is the expansion and refinement of individual responsibility by the international ad hoc criminal tribunals and the ICC Statute; the other is the extension of responsibility for international crimes to corporations under domestic law. The complex interaction between the two is creating an expanding web of potential corporate liability for international crimes –imposed through national courts” (Ruggie 2007). 19. Pada Juni 2008 Perwakilan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM mempresentasikan Kerangka Kerja Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan HAM oleh Perusahaan ke Dewan HAM PBB. Kerangka kerja tersebut berbasis pada 3 pilar, yaitu: a. Tanggung jawab negara untuk melindungi HAM dari pelanggaran oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan, melalui kebijakan, pengaturan, dan keputusan yang layak. Negara tetap memegang peran utama dalam mencegah pelanggaran HAM. b. Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM dimana mensyaratkan adanya aksi yang sungguh-sungguh untuk menghindari pelanggaran HAM oleh pihak lain dan menyelesaikan dampak negatif dari bekerjanya perusahaan tersebut. Perusahaan diharuskan memiliki pernyataan komitmen untuk menghormati HAM, melakukan penilaian atas dampak HAM, serta mengintegrasikan prinsip-prinsip penghormatan HAM dalam proses, fungsi, dan kebijakan internal. c. Akses yang luas bagi warga korban pelanggaran HAM untuk memperoleh skema pemulihan efektif, baik secara yudisial maupun nonyudisial. Mekanisme pengaduan yang efektif dalam perusahaan wajib disediakan sebagai mekanisme untuk menghormati HAM. Negara harus melakukan langkah dalam yusrisdiksi mereka untuk memastikan korban memiliki akses untuk pemulihan efektif melalui cara yudisial, administratif, legislatif, atau cara lainnya.

D. Prinsip-Prinsip Kewajiban Perusahaan dalam HAM 20. Pada Juni 2011, dengan persetujuan Dewan HAM PBB, Perwakilan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM memasukkan serangkaian Prinsip-Prinsip Pedoman bagi Kerangka Pelaksanaan Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan yang ditujukan untuk komunitas bisnis. 21. Prinsip-Prinsip Pedoman ini berangkat dari pandangan bahwa perusahaan merupakan organ masyarakat istimewa yang memperlihatkan fungsi khusus. Dalam kaitan ini, diperlukan kepatuhan perusahaan terhadap semua hukum yang berlaku dalam upaya penghormatan dan perlindungan HAM. Prinsip ini diaplikasikan untuk semua negara dan perusahaan, baik perusahaan multinasional maupun lainnya, menurut ukuran, sektor, lokasi, kepemilikan, dan struktur. Prinsip-prinsip ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi negara dan perusahaan untuk menjalin sinergi dalam usaha menghormati dan melindungi HAM, meskipun Prinsip-prinsip ini bukan norma yang mengikat secara hukum. 22. Beberapa prinsip dalam pedoman ini antara lain: a. Perusahaan harus menghormati HAM. Mereka harus menghindari gangguan terhadap penikmatan HAM dan menyelesaikan dampak negatif dari aktivitas mereka terhadap penikmatan HAM. b. Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM merujuk pada hukum HAM internasional dan hak-hak dasar yang disusun dalam Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM). Tanggung jawab tersebut mensyaratkan perusahaan untuk menghindari dampak negatif aktivitas mereka terhadap HAM, menyelesaikan dampak negatif itu (jika terjadi), serta mencegah atau mengurangi dampak langsung terhadap HAM yang terjadi karena operasi, produk, dan pelayanan oleh hubungan bisnis mereka—bahkan jika mereka tidak menyumbang atas dampak tersebut. c. Perusahaan harus mengeluarkan kebijakan dan proses yang layak sesuai keadaan yang memungkinkan mereka mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan memulihkan dampak negatif terhadap HAM dimana mereka menjadi faktor penyebab atau berkontribusi atas dampak negatif tersebut melalui aktivitas yang mereka lakukan. Hal ini penting untuk mengukur komitmen dan performance mereka terhadap HAM. d. Tanggung jawab ini berlaku untuk semua perusahaan menurut ukuran, sektor, konteks operasional, kepemilikan, dan struktur. e. Untuk menghormati HAM, perusahaan harus memiliki (1) komitmen kebijakan yang menjamin pelaksanaan tanggung jawab mereka terhadap penghormatan HAM. (2) Proses yang sungguh-sungguh untuk mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan menghitung dampak dan penyelesaian masalah HAM yang timbul atas kegiatan mereka; (3) Proses yang memungkinkan pemulihan atas dampak negatif yang timbul karena aktivitas mereka. f. Perusahaan harus mengekspresikan komitmen mereka untuk memenuhi tanggung jawab melalui pernyataan kebijakan HAM. g. Dalam semua konteks, perusahaan harus: (1) mematuhi dan menghormati semua hukum HAM internasional dimana mereka bekerja; (2) mencari jalan untuk menghormati prinsip-prinsip HAM internasional ketika menghadapi konflik. h. Prinsip ini mengenalkan instrumen “human rights due diligence”, yang berarti setiap perusahaan wajib melakukan penilaian terhadap resiko, dampak aktual, maupun potensi negatif terhadap penikmatan HAM dalam operasinya. i. Untuk meningkatan kesadaran atas resiko HAM dalam aktivitasnya, perusahaan harus mengidentifikasi dan menilai dampak aktual dan potensial negatif dengan melibatkan ahli HAM internal dan eksternal serta membangun keterlibatan yang berarti dari pemangku kepentingan atau kelompok masyarakat dimana mereka beroperasi. j. Untuk mencegah dan mengurangi dampak negatif terhadap HAM, perusahaan harus mengintegrasikan temuan dari penilaian dampak ke dalam proses dan fungsi internal, termasuk adanya alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk merespon dampak negatif secara efektif. k. Untuk menguji efektivitas respon mereka untuk menyelesaikan dampak negatif terhadap HAM, perusahaan harus mengukur performance mereka berdasarkan pengukuran kualitatif dan kuantitatif, membuka diri terhadap umpan balik dari pemangku kepentingan eksternal dan internal, serta mempublikasikan uji performance demi perbaikan berkelanjutan di masa depan. l. Untuk mengukur performance HAM, perusahaan harus menyiapkan respon atas dampak negatif terhadap HAM yang mungkin mereka lakukan. Perusahaan dengan resiko HAM yang besar juga harus melaporkan performance HAM secara reguler. 23. Prinsip-Prinsip Pedoman bagi Kerangka Pelaksanaan Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan sebagaimana disebutkan pada paragraf 22 menyediakan tools untuk menilai sejauh mana perusahaan menunaikan kewajibannya dalam penghormatan HAM dan kapan perusahaan bisa dianggap melakukan pelanggaran HAM. Pedoman ini menjadi paradigma baru yang diharapkan bakal mengakhiri impunitas atau kekebalan perusahaan atas hukum HAM yang selama ini terjadi.

E. Langkah dan Aksi Perusahaan dalam Penghormatan HAM 24. Untuk menegakkan Prinsip-prinsip tersebut, perusahaan wajib mengintegrasikan HAM dalam kebijakan internalnya karena 4 alasan: (1) kebijakan HAM menjelaskan komitmen perusahaan terhadap HAM; (2) menjadi pedoman bagi hubungan perusahaan dengan partner usaha dan pemerintah; (3) memberikan dasar bagi penilaian performance perusahaan; (4) menjadi alat untuk mendemonstrasikan komitmen mereka terhadap HAM kepada para pemangku kepentingan eksternal. 25. Kebijakan internal berupa komitmen mereka terhadap HAM dapat merujuk pada standar utama HAM, yaitu DUHAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, dan konvensi lainnya (Konvensi Internasional tentang Hak Anak, Konvensi dan Rekomendasi ILO tentang Standar Perburuhan, Deklarasi ILO tentang Prinsip Dasar dan Hak di Tempat Kerja, Global Compact Sekjen PBB). 26. Didorong oleh Global Compact yang dikeluarkan Sekjen PBB, sejumlah perusahaan pada tahun-tahun belakangan ini mempublikasikan komitmen mereka untuk mendukung DUHAM dalam kode etik dan prinsip bisnis global mereka. Pernyataan komitmen merupakan satu langkah dalam mengembangkan proses jangka panjang berkelanjutan yang mendorong akuntabilitas dan transparansi lebih luas dari perusahaan-perusahaan tersebut. Ada lebih dari 3.500 perusahaan menandatangani 10 Prinsip Global Campact yang salah satu isinya adalah prinsip mendukung dan memajukan HAM sekaligus menghindari keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM yang mungkin terjadi akibat operasi mereka. Di samping itu terdapat 111 perusahaan yang telah memiliki Kebijakan HAM yang mengacu pada DUHAM serta terdapat sekitar 40 perusahaan multinasional yang telah bekerjasama dalam upaya peningkatan pemajuan HAM dengan membentuk forum Business Leaders Initiative on Human Rights (The Business and Human Rights Resource Centre dalam Kasim [2010]). 27. Ada beberapa isu HAM yang menjadi fokus bagi perusahaan dalam penghormatan terhadap HAM, antara lain: a. Diskriminasi dan Kesamaan kesempatan dalam bekerja b. Pelarangan pelecehan Seksual c. Kualitas Lingkungan dan Keamanan tempat kerja d. Pelarangan Pekerja Anak dan Pekerja Paksa e. Jam Bekerja dan Upah Minimum f. Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi 28. Berikut sembilan aksi yang harus dilakukan perusahaan dalam mendukung kerangka kerja baru di bidang bisnis dan HAM, yaitu: a. mengidentifikasi isu HAM. Penting bagi perusahaan untuk memokuskan perhatian pada standar perburuhan dan HAM. Menelaah dampak negatif dari operasi mereka terhadap HAM sangat membantu mereka untuk fokus pada setting dan pelaksanaan kebijakan. b. Mengembangkan pilihan kebijakan. DUHAM dan standar perburuhan ILO menjadi dasar kebijakan perusahaan. Standar ini dapat diperluas untuk menyelesaikan masalah khas yang dihadapi setiap perusahaan. Misalnya, perusahaan minyak mengembangkan kebijakan dan praktik yang berbasis pada kode etik untuk petugas penegak hukum untuk membangun pedoman bagi pekerja keamanan di wilayah mereka beroperasi. c. Mengoperasionalisasikan kebijakan. Agar peka terhadap dampak negatif atas operasi mereka, banyak perusahaan mengembangkan pedoman untuk membantu pelaksanaan kebijakan. Pengembangan kebijakan akan meningkatkan kontribusi dari perusahaan dalam menangkap masukan dari pemangku kepentingan dan organisasi nonpemerintah. d. Dialog dan kerjasama. Ini sebetulnya langkah pertama bagi banyak perusahaan. Usaha yang dilakukan Novo Nordisk, misalnya, melibatkan kalangan akademik dan para pemangku kepentingan yang mengekspresikan perhatian dan kepentingan perusahaan terhadap isu-isu HAM dalam setting kebijakan mereka. Konsultasi dengan kelompok-kelompok HAM dan partner sosial dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap HAM dan membangun sistem akuntabilitas publik. e. Melatih dan mendidik para pekerja kunci. Hal ini penting untuk memastikan semua pekerja memiliki pemahaman dan filosofi HAM. f. Mengembangkan kapasitas internal. Untuk mengelola isu HAM dibutuhkan kapasitas internal dan para ahli HAM dalam perusahaan, sehingga perusahaan mampu mengelola keadaan ketika kebijakan HAM dilanggar. g. Komunikasi dengan partner bisnis (vendor, subkontraktor, pemerintah, dan lain-lain). Komunikasi dapat mengambil beragam bentuk: training kode etik dan standar HAM bagi vendor, termasuk kepatuhan terhadap standar hak buruh dan HAM dalam kontrak perjanjian dan dialog dengan pejabat publik tentang kebutuhan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi penghormatan HAM. h. Membangun akuntabilitas internal. i. Menyusun laporan publik dan pengujian independen. 29. Perusahaan yang menggunakan standar HAM dalam kebijakan internalnya, harus memastikan tersedianya mekanisme pengaduan efektif. Mekanisme pengaduan nonyudisial ini harus: (1) legitimate: mendapatkan kepercayaan dari kelompok pemangku kepentingan; (2) aksesibel: diketahui dan dapat diakses oleh semua kelompok pemangku kepentingan dan memberikan bantuan yang memadai jika ada halangan akses; (3) dapat diprediksi: menyediakan prosedur yang jelas dan diketahui dengan indikasi waktu pada setiap tahap; (4) equitabel: menyediakan akses ke sumber informasi; (5) transparan (6) kompatibel dengan prinsip-prinsip HAM yang diakui secara internasional; (7) sumber pembelajaran berlanjut: yang tergambar dalam tindakan untuk meningkatkan mekanisme dan mencegah kegagalan dan pengaduan di kemudian hari. 30. Pada level operasional, mekanisme pengaduan harus berbasis pada keterlibatan dan dialog dengan cara melakukan konsultasi dengan kelompok pemangku kepentingan yang terlibat dan fokus pada dialog untuk menyelesaikan keluhan dan pengaduan mereka. Mekanisme pengaduan hanya dapat mencapai tujuan jika warga memiliki pengetahuan, kepercayaan, dan mampu menggunakan mekanisme tersebut. Mekanisme ini harus dipastikan efektif dalam praktik (aplikatif dan impelementatif). Mekanisme pengaduan yang buruk beresiko meningkatkan kekecewaan para pemangku kepentingan.

F. Contoh Pernyataan Komitmen terhadap HAM 31. Beberapa perusahaan menanggapi tren Bisnis dan HAM dengan mengintegrasikan HAM ke dalam kebijakan perusahaan. Dalam perkembangan terakhir, ratusan perusahaan berkomitmen untuk menghormati dan melindungi HAM. 32. Salah satu contoh perusahaan yang telah mengadopsi prinsip-prinsip HAM dalam komitmen perusahaan mereka, yaitu Chevron. Dalam pernyataannya, Chevron menegaskan bahwa mereka telah mengadopsi kebijakan HAM dalam perusahaan pada 2009 sebagai komitmen untuk menghormati HAM di mana mereka beroperasi. Menurut mereka, meskipun pemerintah adalah pemegang tugas utama dalam melindungi dan memastikan pemenuhan HAM, Chevron juga memiliki tanggung jawab dalam menghormati HAM dan dapat memainkan peran positif dalam masyarakat tempat mereka beroperasi. Selanjutnya mereka menegaskan: “Komitmen kami konsisten dengan semangat DUHAM dan Deklarasi ILO tentang Prinsip Dasar dan Hak di Tempat Kerja, termasuk prinsip-prinsip sukarela tentang keamanan dan HAM. Di banyak negara dan masyarakat tempat kami beroperasi, isu sosial menjadi bagian penting perhatian keamanan dan sosioekonomi dan dapat diaplikasikan dalam banyak aspek dari bisnis kami. Ini menjelaskan mengapa pengelolaan isu HAM di Cevron berbasis pada totalitas usaha kami dan bukan aktivitas tunggal. Kebijakan perusahaan, proses manajemen, program investasi sosial, dan partisipasi dalam inisiatif sukarela melengkapi dan diniatkan untuk menguatkan komitmen kami atas penghormatan HAM. Kebijakan HAM Cevron akan memperkuat kesadaran yang lebih besar akan HAM dan akan meningkatkan kapabilitas untuk mengidentifikasi dan mengelola isu HAM dalam empat area bisnis kami: ketenagakerjaan, penyediaan keamanan, keterlibatan masyarakat, dan supplier”. 33. Memang perlu pengujian lebih lanjut bagaimana komitmen dan kebijakan HAM yang dicanangkan Chevron betul-betul dijalankan, sehingga Chevron tidak melanggar hak-hak asasi manusia warga yang hidup di sekitar perusahaan Chevron bekerja. Sebagai titik pijak awal, apresiasi dan sambutan baik perlu diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen dan kebijakan untuk menghormati dan memulihkan hak-hak asasi manusia warga yang tinggal di sekitar perusahaan beroperasi. Adapun soal kontrol, kita tak dapat menyerahkan hal itu hanya kepada pemerintah dan masyarakat politik (political society). Sudah saatnya kita semua, masyarakat sipil (civil society), membangun kontrol bersama atas bekerjanya komitmen dan kebijakan HAM di perusahaan-perusahaan tersebut.

by Husendro ???

BIBLIOGRAFI Lippman, Matthew. 1992. “Multinational Corporation and Human Rights,” dalam Claude dan Weston. Human Rights in the World Community (Philadelphia: University of Pennsylvania press). Dokumen/Paper/Jurnal Hitchock, K Robert. 1997. “Indegenous Peoples, Multinational Corporations and Human Rights.” Indigenous Affairs, IWGIA, No.2. Human Rights Council resolution 8/7 of 18 June 2008 and Commission on Human Rights resolution 2005/69 of 20 April 2005 on the issue of human rights and transnational corporations and other business enterprises. Kasim, Ifdhal, 2010, “Tanggungjawab Perusahaan terhadap Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya” (paper dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM, tidak diterbitkan). Ruggie, John, 2007, “Business and Human Rights: Mapping International Standards of Responsibility and Accountability for Corporate Acts: Report of the Special Representative of the Secretary-General (SRSG) on theissue of human rights and transnational corporations and other business enterprises,” (United Nations: New York). Document reference A/HRC/4/035. Ruggie, John, 2011, “Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework” (United Nations: New York). Document reference A/HRC/17/31.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *